RINGKASAN BUKU SASTRA DAN ILMU SASTRA PENGANTAR ILMU SASTRA
KARYA Prof. Dr. A. Teeuw
Teori Sastra
Dosen Pengampu
: Maharani Intan Andalas
Nama : Nur
Hanifah
NIM : 2101413100
Rombel : IV
JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS BAHASA
DAN SENI
UNIVERSITAS
NEGERI SEMARANG
2014
I.
Apakah
sastra ?
Bahasa
Lisan- Bahasa Tulis- Sastra
Obyek utama penelitian ilmu sastra itu tidak tentu.
Sampai sekarang belum ada orang yang mampu memberi jawaban dengan tepat mengenai
apakah sastra. Sudah banyak yang memberi batasan mengenai sastra, namun
akhirnya terbukti tak kesampaian karena hanya menekankan satu aspek saja.
Sampai sekarang yang belum hilang adalah pendekatan yang menyamakan sastra
dengan bahasa tulis. Definisi sebuah gejala dapat kita dekati dari sebuah
namanya, namun definisi ini tidak sempurna.
Kata sastra dalam bahasa Indonesia
berasal dari bahasa Sansekerta, sas dalam kata kerja mempunyai arti
mengarahkan, mengajarkan. Sedangkan akhiran -tra biasanya menunjukkan alat
sarana. Maka dari itu sastra dapat berarti alat untuk mengajar, buku petunjuk.
Dalam bahasa Cina, kata yang dekat dengan sastra adalah kata wen yang artinya
pola, susunan, struktur. Pemakaian kata literature untuk segala bentuk yang
berwujud tulisan, sangat bertahan lama di Eropa. Oleh karena pembedaan bahan
tulisan yang bernilai estetik dari tulisan lain.
Pemakaian bahasa dalam bentuk tulisan
menunjukkan sejumlah keistimewaan yang cukup jelas membedakan dari bahasa
lisan.secara ringkas ciri-ciri itu akan di uraikan sebagai berikut :
1. Dalam pemakaian bahasa secara tertulis baik pembicara maupun
pendengar, kehilanagan sarana komunikasai yang dalam pemakaian bahasa lisan
memberi sumbangan untuk berhasilnya suatu komunikasai. Sarana itu di sebut
suprasegmental. Suprasegmental adalah gejala intonasi ( aksen, tekanan kata,
tinggi rendahnya nada, keras lemanya suara). Uhlenbeck (1979: 406) :
Keberhasilan komunikasi tidak tergantung pada efek sarana-sarana lingual saja;
pemahaman pemakaian bahasa lisan adalah hasil permaianan bersamaa yang subtil
dari data-data pengetahuan lingual dan ekstra lingual, dari informasi auditif,
visual, dan kognitif ( berdasarkan pengetahuan atau penafsiran ).
2. Dalam bahasa tulis biasanya tidak ada kemungkinan hubungan fisik
antara penulis dan pembaca. Sedangkan komunikasi lisan kita banyak tergantung
pada kemungkinan yang di adakan oleh hubungan fisik ; pendengar melihat
gerak-gerik si pembicara, yang seringkali penting untuk menjelaskan apa yang di
maksudkannya.selain itu pula dapat memberi reaksi langsung yang penting bagi
pembicara. Dalam komunikasi dalam bahasa tulis, situasi itu sangat berbeda.
Penulis harus mengucapkan sesuatu lebih eksplisit, harus sejelas mungkin, dan
juga harus hatri-hati. Sedangkan pembaca pun harus mengambil sikapa yang lain,
karena tidak adanya interaksi yang spontan.
3. Dalam
teks tertulis penulis tidah hadir sebagiannya atau seluruhnya dalam situasi
komunikasi. Contohnya adalah karangan yang anonim, pembaca harus mencari
informasi yang relevan hanya dari data tertulis saja.
4. Teks tertulis juga sangat mungkin makin lepas dari kerangka
referensi aslinya. Penulis mengarang tulisannya berdasarkan situasi tertentu,
situasi pribadi, situasi sosial, berdasarkan situasi dia sendiri sebagai pembaca.untuk
menghindari salah faham, pengarang terpaksa secara eksplisit dan jelas
menguraikan informasi kontekstual yang dalam situasi percakapan biasanya tidak
perlu di eksplesitkan. Dalam komunikasi lewat tulisan sering terjadi salah
faham jauh lebih besar.
5. Pembaca mempunyai keuntungan lain, kalau di bandingkan dengan
pendengar dalam situasi komunikasi.tulisannya dapat di baca beberapa kali
apabila di anggap penting. Tanggapannya pun dapat di tunda di pikirkan kembali
sebelum di tuliskan.
6. Teks tertulis dapat di reproduksikan dalam berbagai bentuk. Yang
berarti bahwa lingkungan orang yang terlibat dalam dalam tindak komunikasi
dengan bahasa tulisan pada prinsipnya jauh lebih besar dan luas daripada yang biasanya terdapat dalam situasi bahasa
lisan.
7. Komunikasi antara penulis dan pembaca lewat tulisan membuka
kemungkinan adanya jarak jauh antara kedua belah pihak, dalam hal ruang, waktu
dan juga segi kebudayaan. Kita dapat membaca hasil tulisan dari masa yang
lampau, dari negri lain, dengan latar belakang kebudayaan yang lain sekali dari
situasi kita sendiri.
Sarana dan tujuh ciri
bahasa tulis yaitu :
1.
Oleh karena kemungkinan
untuk mengungkapkan sarana suprasegmental dan paralingual dalam situasi tulisan
sangat terbatas, maka seorang penulis terpaksa mengusahakan perumusan yang
seteliti dan setepat mungkin, dalm percakapan kalimat dapat di pakai secara tak
karuan saja, karena setengahnya seringkali sudah cukup untuk pendengar yang
cermat.
2.
Dalam situasi bahasa
tulis si pembicara bukanlah faktor yang tersedia dalam tindak komunikasi,
faktor ini pun dapat dipermainkan oleh pengarang karya sastra. Tetapi dalam
tulisan belum tentu kita tahu siapakah
si aku yang kita temui dan ambiguitas tentang diri penulis yang tidak kita
hadapi langsung.
3.
Oleh karena hubungan
antara karya sastra dengan penulis tidak jelas, dengan sendirinya tulisan itu
sendiri makin penting, menjadi pusat perhatian pembaca. Lepasnya karya sastra
dari tujuan komunikasi biasa dan dari diri penulis menimbulkan macam-macam
konvensi yang harus di kuasai seorang pembaca, agar dia dapat memahami karya
sastra.
4.
Dalam situasi komunikasi
tulisan referen dan acuan, yaitu hal dalam kenyataan yang di tunjukkan dalam
tindak ujaran yang biasa, mungkin tidak jelas dan samar-samar saja. Demikianlah
perbedaan antara pembedaan antara ujaran dan tulisan menjadi sumber paradoks
sastra yang fundamental. Kita tertarik pada sastra karena nyatalah itu sesuatu
yang lain dari komunikasi biasa.
5.
Kemungkinan permainan
konvensi yang makin ruwet, makin menyesatkan pembaca karena kompleksitas makna
berhubungan juga dengan monumentalitas karya sastra. Seakan-akan terjadi
semacam permainan kejar-kejaran antara penulis dan pembaca.
6.
Kemungkinan reproduksi
dalam berbagai bentuk sangat penting untuk sastra sebagai faktor kebudayaan. Reproduksi
tulisan itu ada pula akibatnya. Tulisan memungkinkan pemantapan dan kelestarian
berita yang terkandung di dalamnya.
7.
Berkat menyimpan dan
menyelamatkan sastra dalam bentuk tulisan dan menyebarluaskannya melampaui
batas waktu dan ruang, juga melampaui batas bahasa dan kebudayaan. Tetapi hal
itu menimbulkan masalah, dalam arti penafsiran dari karya sastra dari masa atau
kebudayaan yang lain ternyata sangat sulit dan mengakibatkan kemungkinan
perbedaan pemahamaan yang sangat menonjol.
Sastra dan bahasa tulis tidak identik, sastra tidak
terbatas pada bentuk bahasa tulis. Maklum ada pula sastra lisan, baik dalam
masyarakat tradisional, maupun dalam masyarakat modern. Sastra lisan pemakaian
bahasa seringkali jauh lebih rumit dan terpelihara ataupun menyimpang dari yang
biasa dalam bahasa yang sehari-hari. Kesimpulan yang penting dalam hubungan ini
tidak ada kriteria yang jelas yang dapat kita ambil dari perbedaan pemakaian
bahasa lisan dan bahasa tulis untuk membatasi sastra sebagai gejala yang khas.
Ada pemakaian bahasa lisan dan tulis yang sastra, ada pula yang bukan
sastra, dan sebaiknya ada sastra tulis
dan ada pula sastra lisan. Tolok ukur untuk membedakan sastra dengan bukan
sastra harus di cari di bidang lain.
II.
Karya Sastra Dalam Model Semiotik
1.
Sastra sebagai tanda
termasuk bidang semiotik : De Saussure
Ferdinand
de Saussure di akui sebagai tokoh yang
meletakkan dasar ilmu bahasa modern. Bahasa adalah sistem tanda, dan tanda
merupakan kesatuan antara dua aspek yang tak terpisahkan satu sama lain :
signifiant ( penanda ) dan signifie ( petanda ). Signifiant adalah aspek formal
atau bunyi pada tanda itu, sedangkan signifie adalah aspek kemaknaan atau
konseptual. De Saussure membicarakan beberapa aspek tanda yang khas : tanda
adalah arbiter, konvensional dan sistematik. Arbiter berarti bahwa dalam urutan
bunyi itu sendiri tidak ada alasan atau motif untuk menghubungkannya.
De Saussure menjelaskan pula bahwa bahasa
bukanlah satu-satunya sistem tanda yang di pakai dalam masyarakat, ada berbagai
sistem tanda lain. Semua sistem tanda, termasuk bahasa, yang merupakan sistem
tanda yang paling kompleks dan mendasar untuk komunikasi antar manusia. Ilmu
pengetahuan yang bertugas untuk meneliti berbagai sistem tanda oleh De Saussure
di sebut semiologi, atau ilmu tanda. Gagasan yang sama tlah lebih dahulu di
kembangkan oleh Charles Sander Peirce, seorang filsuf Amerika, tetapi
tulisannya baru kemudian di terbitkan.
2.
Model bahasa Karl Buhler
Sastra merupakan sistem tanda yang
bertugas sebagai alat komunikasi antar manusia makin meluas dalam kalangan
peneliti sastra. Karl Buhler seorang ahli psikolog, tetapi yang banyak
mempunyai minat mengenai masalah bahasa dan yang malahan dalam tahun 1934 menulis sebuah buku. Buhler pertama kali
dengan jelas menguraikan ciri khas tanda bahasa sebagai gejala sosial. Hal itu
berdasarkanya yang di sebut organonmodell der sprache, model bahasa dengan
memakai istilah yunani.
Plato mengenai bahasa , organon berarti
alat, sarana, instrumen. Oleh Buhler hasil rangkap tiga yang di akibatkan oleh
bahasa : Ausdruck, Appell, Darstellung. Buhler menjelaskan bahwa tiga fungsi
tersebut tidak selalu sama pentingnya dalam situasi komunikasi, yang dominan
dalam pemakaian bahasa yang biasa adalah fungsi Darstellung, referensinya ;
dominannya fungsi itu terungkap dalam apa yang kita sebut arti unsur bahasa.
Tetapi dalam situasi tertentu mungkin ekspresilah yang dominan.
3.
Model sastra Abrams
Sastra mau tak mau adalah salah suatu
bentuk pemakaian bahasa. Abrams meneliti teori-teori mengenai sastra yang
berlaku dan di utamakkan di masa Romantik, khususnya dalam puisi dan ilmu
sastra Inggris. Abrams membicarakan masalah keanekaragaman yang seringkali
sangat mengacaukan yang dapat kita perhatikan di bidang teori sastra. Abrams
memberikan sebuah keranga yang terkandung pendekatan kritis yaitu :
a.
Pendekatan obyektif
adalah pendekatan yang menitikberatkan karya itu sendiri.
b.
Pendekatan ekspresif
adalah pendekatan yang menitikberatkan penulis.
c.
Pendekatan mimetik adalah
pendekatan yang menitikberatkan semesta.
d.
Pendekatan pragmatik
adalah pendekatan yang menitikberatkan pembaca.
Istilah pragmatik menunjuk pada efek
komunikasi yang seringkali di rumuskan dalam istilah Horatius. Seni harus
menggabungkan sifat utile dan dulce, bermanfaat dan manis. Abrams
memperlihatkan bahwa empat pendekatan itu seringkali dominan. Abrams sendiri
dalam tulisannya belum memakai istilah semiotik atau teori komunikasi. Modelnya
sangat mirip dengan organon Buhler.
4.
Model Roman Jakobson
dengan fungsi puitik
Jakobson
pada konferensi mengenai style in language, di paparkan sebuah model dengan
tujuan untuk menjelaskan poetic function of language, fungsi puitik dalam
bahasa. Jakobson mnyejajarkan 6 faktor bahasa dan 6 fungsi bahasa. Phatic function
di maksudkan potensi bahasa sebagai alat untuk mengadakan komunikasi ataupun
kontak sesama manusia.
5.
Model Charles Morris,
disesuaikan oleh Klauss
Charless Morris seorang ahli semiotik
awal yang terkenal, yang kemudian di sesuaikan oleh Klauss. Model ini pada
prinsipnya sama dengan Buhler, tetepi lain istilahnya. Model Morris-Klaus
membedakan tiga dimensi dalam proses semiosis pada tanda yang dilambangkan lagi
segitiga. Dimensi pertama adalah dimensi sintaktik, yaitu hubungan antara tanda
satu dengan tanda yang lain. Dimensi sintaktik menekankan struktur instrinsik
karya sastra sebagai sistem tanda. Sedangkan dimensi pragmatik melingkupi baik
pengirim maupun penerima pesan.
Dimensi semantik dalam
model Morris-Klauss bertepatan dengan fungsi mimetik atau referensial dalam model lain. Klauss
memberikan pembedaan antara semantik dan sigmatik. Semantik mengenai aspek arti
secara konseptual Saussure. Sedangkan sigmatik dalam Klauss mengacu pada aspek
acuan atau referensial.
6.
Model semiotik Morris
disesuaikan oleh Foulkes
Foulkes
tertarik oleh peranan pembaca dalam proses komunikasi lewat karya sastra. Yang
di bedakannya adalah pragmatik penulis dan pragmatik pembaca. Controlling
factors, yaitu keseluruhan faktor yang dalam proses komunikasi dan pemahaman
karya sastra mempengaruhi dan ikut menentukan sikap pembaca terhadap karya yang
di hadapinya. Itulah memang fokus utama penelitian Foulkes, yang memperlihatkan
sikap dan peranan pembaca masyarakat
modern dipengaruhi oleh berbagai faktor artistik, sosial, politik dan ekonomi.
7.
Model yang di berikan
belum lengkap
Penelitian
yang menekankan aspek pragmatik, mimetik, ekspresif atau obyektif sangat sangat
bermanfaat. Secara ideal semua aspek karya sastra harus di ikutsertakan dalam
penelitian. Tetapi keempat aspek tidak selalu sama pentingnya. Sesungguhnya
model yang di berikan Abrams menunjukkan kekurangan dalam arti bahwa beberapa
faktor yang penting dalam penelitian belum terlingkupi sama sekali.
8.
Dua faktor lain yang
perlu ada dalam model semiotik sastra : sistem bahasa dan konvensi sastra
Ahli
semiotik Jurij Lotman mengatakan bahwa bahasa merupakan sistem pembentuk model
yang primer. Jadi yang mengikat baik penulis maupun pembaca, tidak berarti
bahwa keduanya harus mengetahui bahasa yang di pakai dalam karya sastra, tetapi
juga dalam keistimewaan struktur bahasa itu sendiri. Bahasa bukanlah
satu-satunya kerangka acuan yang ada antara karya pencipta dan pembaca. Sebab
pemahaman karya itu akan gagal apabila tidak akrab dengan konvensi kesusastraan
yang merupakan latar belakang karya itu.
9.
Pembaca sebagai variabel
sosial dan diakronis
Model
Abrams penangkap atau penerima adalah abstraksi. Fungsi sastra adalah pembaca
sebagai variabel. Setiap karya sastra di baca, di nilai, di kecam oleh berbagai
anggota masyarakat. Dalam penelitian karya fungsi karya sastra ialah faktor
waktu. Faktor diakronis adalah sesuatu yang hakiki untuk secara memahami dengan baik makna dan fungsi sebuah
karya sastra. Penelitian karya sastra tanpa memperhatikan sejarah sastra dalam
arti, tidak mungkin di lakukan secara memuaskan. Karena sejarahlah yang
memberikan dinamika yang khas untuk karya sastra.
10. Bentuk
karya sastra sebagai variabel
Dalam sejarah sastra ternyata bahwa
setiap karya sastra berubah, karena berbagai faktor. Variasi sebagai ciri khas
utama karya sastra. Variasi juga memainkan peranan yang penting dan khas dalam
hal sastra lisan, yang biasanya tidak di selamatkan dalam bentuk tulisan.
III.
Karya Sastra dan Bahasanya
1.
Bahasa Sastra sebagai bahasa
khas : retorik, stilistik
Sarana bahasa yang dipakai dalam bahasa
yang baik termasuk penyimpanagan. Penyimpangan dari bahasa sehari-hari tidak
dapat di cari dasar untuk membedakan sastra dari pemakaian bahasa yang lain.
Namun keistimewaan bahasa sastra puisi tetap di teliti secara sistematik.
Stilistik berusaha menetapkan keistimewaan pemaakaian bahasa secara insidental,
tetapi tidak berhasil.
2.
Fungsi bahasa yang
disebut puitik dalam teori Jakobson
Kaum
Formalis tidak puas dengan penelitian sastra yang bersifat sosiologik dan
psikologik ataupun bersifat sejarah. Para Formalis ingin kembali ke hakikat
puisi yaitu pemakaian bahasa. Jakobson mengatakan puisi adalah ungkapan yang
terarah ke ragam melahirkannya. Sedangkan fungsi puitik bahasa ialah pemusatan
perhatian pada pesan demi pesan itu sendiri, atau keterarahan ke pesan sendiri.
Jakobson tentang
pemakaian bahasa membedakan enam fungsi bahasa, di antaranya fungsi puitik.
Namun keenam fungsi itu dominan. Jakobson membicarakan puisi sebagai bentuk
sastrayang paling khas dan tipikal. Fungsi puitiklah yang dominan. Jakobson
juga menguraikan prinsip konstitutif puisi ialah ekuivalensi. Dalam bahasa
puitik dipilih kemungkinan yang dari segi tertentu menonjolkan ekuivalensi.
Ekuivalensi itu dapat berwujud gejala yang beranekaragam yaitu : bunyi, rima,
aliterasi, asonansi dan lain-lain.
3.
Penerapan dan penggarapan
teori Jakobson
Jakobson mengatakan prinsip ekuivalensi
diangkat menjadi sarana konstitutif urutan kata. Jakobson juga mengembangkan
teori kekhasan fungsi puitik dan prinsip yang mendasari puisi,yang sekaligus
menjadi kerangka analisis struktural sebuah karya sastra seperti diterapkan
oleh kebanyakan peneliti. Fungsi puitik menjadi dominan dalam sastra, namun
tidak pernah berada dalam kedudukan terisolasi.
4.
Kritik Riffaterre atas
pandangan Jakobson
Jakobson hanya memperhatikan aspek
pragmatik dan ekspresif. Sedangkan aspek referensial menurut beberapa
pengkritik di anggap enteng oleh Jakobson. Riffaterre menentukan makna sebuah
sajak ialah pembacanya, berdasarkan pengalamannya sebagai pembaca puisi. Sajak
adalah lebih dari struktur tata bahasa saja, tetapi sebagai sarana komunikasi,
yang berfungsi dalam konteks stilistik. Riffaterre juga mengatakan kata-kata
dalam konteks sajak mendapat makna, jjustru dalam kontras dengan arti biasa.
Aspek puisi yang terpenting justru adalah ketegangan antara mimetik unsur
bahasa dan makna semiotiknya.
5.
Kritik sosiologis
terhadap teori Jakobson : Mary Louise Pratt
Pratt dalam judul bukunya sudah menjelaskan latar
belakan pendekatannya. Tuntunan dasar yang di ajukan adalah wacana sastra harus
dipandang sebagai pemakaian bahasa tertentu, bukan sebagai ragam bahasa
tertentu. Jadi tidak ada bahasa puitik sebagai ragam bahasa khas, hanya ada
pemakaian bahasa yang khas, yang biasa kita sebut sastra. Pandangan Pratt untuk
penelitian sastra dan pemakaian bahasa dalam sastra titik tolak penelitian
ilmiah bergeser dari pesan kepada pengirim, penerima dan konteks. Demikianlah
estetik bahasa dikembalikan ke tataran yang layak.
Dalam pendekatan ilmu bahasa yang terbaru
ditentukan bahwa konvensi pemakaian bahasa melingkupi jauh lebih banyak dari
hanya sistem tata bahasa dan makna leksikal saja. Pemakaian bahsa dalam situasi
tertentu sebagian besar ditentukan oleh konvensi, kondisi dan aturan.
6.
Teori sastra Pratt
Pratt meletakkan dasar untuk teori sastra
yang tergantung pada konteks . Beberapa konvensi yang penting, yang berlaku
dalam komunikasi kesusastraan yaitu :
a.
Pembaca telah menerima
peranan sebagai audience dalam situasi menanggapi pesan sastra. Peran audience yang tidak aktif ikut serta
dalam komunikasi sudah tentu bukan peran yang khas untuk komunikasi lewat
sastra.
b.
Pembaca yang mulai
membaca karya sastra telah tahu sebelumnya bahwa bacaan yang dihadapinya bukan
sembarang tulisan. Sebelum pembaca mulai membaca dia sudah bersedia untuk
menanggapi buku tersebut sebagai roman modern.
c.
Pratt membicarakan karya
sastra yang di sebut tellability. Tellability menjadi ciri khas sastra walaupun
tidak secara eksklusif. Dengan dua sifatnya yang khas, yang justru dalam sastra
sangat penting . Penyimpangan dalam roman modern bukan hanya perkara permainan
saja.
IV. Karya Sastra dan
Sistem Sastra
1.
Bahasa sebagai sistem
semiotik primer
Menurut Pratt karya sastra adalah
contextdependent speech event, peristiwa ujaran yang tergantung pada konteks.
Bahasa, sebelum dipakai penulis, sudah merupakan sistem tanda, sistem semiotik
: setiap tanda, unsur bahasa itu mempunyai arti tertentu, yang secara konvensi
disetujui, harus diterima oleh anggota masyarakat, dan yang mengikat mereka,
tidak hanya dalam artian bahwa tanda itu
merupakan berian. Sutardji Calzoum Bachri memberontak terhadap kungkungan
perlengkapan konseptual yang terasa seakan-akan dipakasakan dan membebaskan
kebebasan penciptanya.
Kita semua mempunyai sistem bahasa, yang
antara lain merupakan sistem kemaknaan yang berbeda-beda menurut bahasa yang
dipakai sebagai anggota sebuah masyarakat. Sastra disebut Lotman sistem tanda
sekunder yang membentuk model, yaitu yang tergantung pada sistem primer yang diadakan oleh bahasa, dan yang hanya
dapat dipahami dalam hubungannya dan seringkali dalam pertentangannya dengan
sistem bahasa. Susunan bahasa menentukan segala sistem semiotik oleh karena seni
adalah satu diantara sistem semiotik itu, kita tahu pasti bahwa kita akan
menemukannya di dalamnya cap dari bentuk-bentuk abstrak bahasa itu. Latar
belakang yang sama kita lihat pula dalam pertentangan antara meaning dan
significance yang telah dikutip dari tulisan Riffaterre sebagai prinsip
semiotik sastra yang penting.
2.
Karya sastra dan konvensi
budaya
Cuhler membicarakan masalah kode
kultural. Masalahnya memang penting, khususnya pula untuk penelitian sastra
Indonesia tradisional, tetapi tidak mungkin kita membicarakannya dengan panjang
lebar dalam rangka ini. Dikatakan bahwa pemisahan konvensi budaya dari konvensi
bahasa dan sastra ataupun sosiolinguistik seringkali tidak mungkin atau tidak
mudah dilaksanakan.
3.
Konvensi sastra
Madame de Stael telah menjadi penindasan
universal, jadi konvensi dialami sebagai ikatan, kungkungan yang daripadanya
kita harus membebaskan diri. Tetapi ironisnya pengakuan konvensi dalam sejarah
bertepatan dengan penolakannya. Tetapi betapa kuat kita menentang adanya dan
perlunya konvensi, sastra dan seni selalu berada dalam ketegangan antara aturan
dan kebebasan.
Masalah kompetensi kesastraan, dengan
contoh konvensi puisi lirik ( Culler )
4.
Konvensi itu sangat
berbeda-beda sifatnya, ada yang sangat umum, ada pula yang sangat khas dan
spesifik. Culler menyatakan bahwa karya
sastra mempunyai struktur dan makna dalam kaitannya dengan suatu perangkat
konvensi sastra, kompetensi kesastraan yang harus dikuasai oleh pembaca. Culler
menyatakan sajak adalah pengutaraan yang mendapat arti hanya dalam kaitannya
dengan sistem konvensi yang diakrabkan oleh pembaca. Competence adalah
perangkat konvensi untuk membaca teks sastra. Dan ilmu sastra,puitik justru
harus meniliti sistem yang mendasari karya,yang memungkinkan efek kesastraan.
Tradisi yang kuat dalam puisi dalam dunia
barat memakai kata-kata deiktik yang bersifat keruangan, kewaktuan,dan
keorangan untuk memaksa pembaca agar membina persona yang meditatif, perenung.
Kata deitik adalah kata yang referenya berganti-ganti,tergantung siapa yang
menjadi pembicara dan tergantung pada saat dan tempat di tuturkannya kata itu.
Oleh Culler organic wholes, keseluruhan yang organik: harapan koherensi dan
kebulatan makna menentukan kegiatan penafsiran pembaca. Konvensi puisi lirik
yang dibicarakan Culler disebut tema dan perwujudan: yaitu konvensi
signivicance, makna yang relevan(yang sudah tentu erat hubungannya dengan
konvensi kedua).
Puisi lirik yang pada lahirnya dapat kita
baca sebagai peristiwa insidental atau pengalaman individual. Khasus khas dari
konvensi ini ialah bahwa puisi sering kali mengambil relevansinya dari maknanya
sebagai perenungan atau pengamatan mengenai masalah itu sendiri. Justru ilmu
sastra bertugas untuk menentukan setepat mungkin keseluruhan konvensi sastra
yang merupakan sistem sastra dalam sebuah bahasa.
5.
Masalah jenis sastra :
teori Aristoteles
Teori Aristoteles berdasarkan sastra
Yunani klasik,yaitu satu-satunya sastra yang dikenalnya. Sarana perwujudannya
ada dua prosa dan puisi. Sedangkan objek perwujudannya ada tiga: manusia rekaan
lebih agung dari pada manusia nyata, manusia rekaan lebih hina dari pada
manusia nyata, manusia rekaan sama dengan manusia nyata. Ragam perwujudannya
ada tiga yaitu teks sebagian terdiri dari cerita, yang berbicara si aku lirik
penyair, dan yang berbicara para tokoh saja.
6.
Strukturalisme dan
masalah jenis sastra
Formalis Rusia mengakui dinamika sistem
jenis sastra yang terus bergeser dan berubah. Pemikiran ini dilanjutkan oleh
golongan baik di Praha dan Prancis. Menurut pendekatan ini karya sastra
merupakan aktualisasi sebuah perangkat konvensi, aktualisasi yang sekaligus
memenuhi harapan pembaca dan melangarnya karna inovasi. Culler pada asasnya
fungsi konvensi jenis sastra ialah mengadakan perjanjian antara penulis dan
pembaca, agar terpenuhi harapan tertentu yang relevan,dan dengan demikian
dimunkinkan sekaligus panyesuaian dan penyimpangan dari ragam keterpahaman yang
telah diterima.
Todorov menyatakan setiap karya agung
menetapkan terwujudnya dua jenis, kenyataan dua norma: norma jenis yang
dilampoinya,yang menguasai sastra sebelumnya dan norma jenis yang
diciptakannya. Karya sastra yang agung justru dengan melampoi batas yang
berlaku membuka kemungkinan baru untuk perkembangan jenis sastra. Penelitian
sistem jenis sastra tidak ada garis pemisah yang jelas antara pendekatan
diakronik dan sinkronik:karya sastra selalu berada dalam ketegaan dengan
karya-karya yang diciptakan sebelumnya.
7.
Masalah sistem sastra
Tentang sistem sastra dapat dikatakan
sebagai berikut:
a. Sistem
itu tak dapat bersifat longgar, lincah. Oleh karna karya sastra ditandai oleh
penyimpangan dan pelanggaran terhadap norma-norma. Ketegangan antara norma
sastra yang kolektif dan penyimpangan individual adalah ciri khas sistem sastra
demikian pula merupakan ciri khas individual karya itu sendiri.
b. Perbedaan
antara diakronik dan sinkronik yang cukup mendasar untuk konsep sistem bahasa.
Sistem sastra secara prinsip mengabungkan unsur diakronik dan sinkronik. Sebuah
sastra dalam manifestasi kongkret dalam sebuah bahasa pasti sedikit banyak
menunjukkan unsur-unsur sistematiknya.
8.
Masalah sistem sastra
universal
Pendekatan Aristoteles yang pembagian
utamanya epik lirik-drama sebagai bentuk sastra utama mengenai sastra. Sastra
bukanlah tumpukan karya,melainkan
kata-kata. Eliot mengatakan monumen sastra yang ada mewujudkan tata susun yang
ideal satu sama lain,jadi bukanlah hanya merupakan kumpulan karya sejumlah
individu.
V. Karya Sastra Sebagai
Struktur Strukturalisme
1.
Teori Aristoteles
mengenai struktur karya sastra
Empat
pendekatan terhadap karya sastra yang disarankan Abrams pada prinsipnya sama
dengan model semiotik,yaitu pendekatan objektif, ekspresif, pragmatik dan
mimetik. Menurut pandangan Aristoteles dalan tragedi action, tindakan, bukan
character, watak yang terpenting. Efek tragedi dihasilkan oleh aksi plotnya,
dan untuk menghasilkan efek yang baik plot harus mempunyai keseluruhan. Empat
sarat utama disebut order, amplitude, unity, dan connection. Order berarti
urutan, urutan aksi harus teratur. Amplitude berarti bahwa luasnya ruang lingkup
dan dan kekomplekskan karya harus cukup untuk memungkinkan perkembangan
peristiwa yang masuk akal ataupun yang harus ada untuk menghasilkan peredaran
dari nasib baik ke nasib buruk atau
sebaliknya.
Sedangkan unity berarti semua unsur dalam
plot harus ada, tak mungkin tiada, dan tidak bisa bertungkar tempat tanpa
mengacaukan ataupun membinasakan keseluruhannya. Connection berarti bahwa
sastrawan tidak bertugas untuk menyebut hal-hal yang sungguh-sungguh terjadi,
tetapi hal-hal yang mungkin atau harus terjadi dalam rangka keseluruhan plot
itu. Perbedaan hakiki antara sastrawan dan sejarawan : sejarawan menceritakan
yang terjadi sedangkan sastrawan menceritakan peristiwa ataau kejadian yang
masuk akal atau harus terjadi, berdasarkan tuntutan konsistensi dan logika
ceritanya.
Keteraturan atau susunan plot yang masuk
akal, ruang lingkup yang cukup luas, kesatuan dan keterkaitan plot disebut
Aristoteles sebagai syarat utama, khususnya untuk tragedi. Tidak ada hukuman
yang yang lebih berat bagi karya sastra daripada tudingan seorang pengkritik
sastra yang menyimpulkan.
2.
Struktur karya sastra dan
lingkaran hermeneutic
Hermeneutik adalah ilmu atau keahlian
menginterpretasi karya sastra dan ungkapan bahasa dalam arti yang lebih luas
menurut maksudnya. Proses penafsiran kalau dipikirkan selalu menghadapi
kesulitan metode. Proses interpretasi yang bertangga berdasarkan asumsi dan
konvensi ataupun aksioma bahwa teks yang di baca mempunyai kesatuan,
keseluruhan, kebulatan makna, dan koherensi instrinsik.
Untuk memecahkan lingkaran hermeneutik
dan mencari makna total sebuah karya sastra, setiap bagian dan anasir karya itu
diberikan tempat selayaknya dalam penafsiran karya yang menyeluruh, dan
sekaligus menyumbang aspek hakiki pada keseluruhan makna karya tersebut.
3.
Kekurangan minat untuk
struktur karya sastra pada abad kesembilan belas
Kritik sastra pada abad ke 19 menonjolkan
pendekatan ekspresif sangat ditonjolkan. Selain itu sejarah sastra yang sering
juga mengabaikan karya sebagai keseluruhan makna. Pendekatan pada abad ini
melihat sastra pertama-tama seb agai sarana untuk memahami aspek-aspek
kebudayaan yang lebih luas, terutama sejarah, agama, aspek kemasyarakatan. Hal
itu diperkuat oleh karena peneliti sastra seringkali bekerja selaku penyebar
agama.
4.
Munculnya minat untuk
struktur karya sastra
Dalam abad 20, pergeseran bidang ilmu
kemanusiaan ialah pergeseran dari pendekatan historik atau diakronik ke
pendekatan sinkronik. Saussure yang membawa perputaran perspektif yang cukup
radikal dari pendekatan diankronik ke pendekatan sinkronik. Penelitian bahasa
menurut pendapat ini harus mendahulukan bahasa sebagai sistem yang sinkronik.
Makna dan fungsi unsur-unsurnya hanya dapat dipahami dalam keterkaitannya
dengan unsur-unsur lain. Sifat bahasa utama sebagai sistem tanda ialah sifat
relasionalnya, yang berarti keseluruhan reaksi atau oposisi antara unsur-unsur
dan aspeknya harus diteliti dan dipahami terlebih dahulu.
5.
Aliran Formalis di Rusia
Pendekatan Formalis bertentangan dengan
ajaran-ajartan Marxis. Metode formalis dan aliran futuris terdapat persesuaian
paham timbal balik yang bersejarah. Para formalis pertama-tama ingin
membebaskan ilmu sastra dari kungkungan ilmu-ilmu lain. Mereka mencari ciri
khas karya sastra dari ungkapan bahasa lain. Ciri itu di sebut literariness. Konsep
utama kaum formalis adalah konsep dominan, ciri menonjol atau utama. Menurut
pendapat dan pengalaman mereka dalam
sebuah karya sastra aspek bahasa tertentu secara dominan menentukan
ciri-ciri khas hasil sastra itu.
Penelitian struktur naratif dalam roman
atau cerita pendek Shklovsky mengembangkan oposisi antara fabel ( fabula ) dan
plot ( sjuzhet ). Fabel adalah jalan cerita menurut logika dan kronologi
peristiwa yang terdapat dalam cerita tertentu. Secara mimetik dalam karya
sastra sering dimanfaatkan sarana mengasingkan karya yang disebut
deotomatisasi. Kaum formalis deotomatisasi, ;penyimpangan dari yang wajar
dianggap proses sastra yang mendasar. Secara sinkronik karya sastra menyimpang
dari bahasa sehari-hari.
6.
Pendekatan struktural dan
gerakan otonomi
Kritik sastra harus berpusat pada karya
sastra itu sendiri, tanpa memperhatikan penyair sebagai pencipta atau pembaca
sebagai penikmat. Lodge yang pertama kali membantah salah paham seakan-akan
pengkritik sastra berurusan dangan niat pembaca yang tersedia baginya hanya
meaning, makna karya itu dan hanya itulah yang dapat dipahami ataupun
dikuasainya. Warren dalam pendekatan ekstrinsik terhadap karya sastra pada
prinsipnya ditolak karena dianggap kurang tepat, yang perlu adalah pendekatan
instinsik yang menekankan struktur karya sastra itu sendiri.
7.
Tentang analisis struktur
karya sastra
Analisis struktural bertujuan untuk
membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, semenditel dan mendalam mungkin
keterkaitan dan keterjalinan semua anasir dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh.
Pada sebuah sajak atau roman pun tidak cukup semacam enumerasi gejala-gejala
yang berhubungan dengan aspek waktu, ruang, perwatakan, point of view dan sorot
balik. Setiap karya sastra memerlukan metode analisis yang sesuai dengan sifat
dan strukturnya. Perbedaan analisis tidak hanya tergantung pada tebal tipisnya
sebuah karya sastra.
8.
Empat kelemahan
strukturalisme khususnya New Criticism. Konsep struktur
Kelemahan pendekatan struktural terutama berpangkal pada
empat hal yaitu :
a.
New criticism dan
analisis struktur karya sastra secara umum merupakan teori, bahkan ternyata
merupakan bahaya untuk mengembangkan teori sastra yang sangat perlu.
b.
Karya sastra tidak dapat
diteliti secara terasing, tetapi harus dipahami dalam rangka sistem sastra
dengan latar belakang sejarah.
c.
Adanya struktur yang
objektif pada karya sastra makin disangsikan, peranan pembaca selaku pemberi
makna dalam interpretasi karya sastra makin ditonjolkan dengan segala
konsekuensi untuk analisis struktural.
d.
Analisis yang menekankan
otonomi karya sastra juga menghilangkan konteks dan fungsinya, sehingga karya
itu kehilangan relevansi sosialnya.
Culler sastra itu sendiri merupakan
eksplorasi dan perenungan yang terus menerus mengenai pemberian makna dalam
segala bentuknya, penafsiran pengalaman, komentar mengenai keberlakuan berbagai
cara menafsirkan pengalaman.
9.
Pasca-strukturalisme
Srukturalisme menitik beratkan struktur
karya individual mengabaikan hakikat ilmu sastra. Pendekatan pasca-strukturalisme
menunjukkan perbedaan paham adalah keterpercayaan terhadap bahasa: bahasa tidak
mungkin mencerminkan kenyataan, atau tidak mungkin dicek berdasarkan kenyataan.
Pemakaian bahasa dalam teks menciptakan sebuah kenyataan yang hanya terdiri dari
dan dalam bentuk bahasa, sebagai dunia
tanda.
10. Prinsip
intertekstualitas atau hubungan antar teks
Prinsip utama karya sastra adalah
intelektualitas. Prinsip ini berarti
bahwa setiap teks sastra dibaca dan harus dibaca dengan latar belakang
teks-teks lain. Culler menyatakan setiap teks terwujud sebagai mosaik
kutipan-kutipan, setiap teks merupakan peresapan dan transformasi teks-teks
lain. Konsep intertektualitas memainkan peranan yang sangat penting dalam
semiotik sastra, tidak hanya dalam usaha untuk sekedar memberi interpretasi
tertentu terhadap karya sastra yang konkrit.
11. Kenisbian
konsep struktur, peranan pembaca selaku pemberi makna
Prinsip intertektualitas mempunyai
konsekuensi untuk pandangan ilmiah terhadap struktur karya sastra. Antara
analisis struktural yang obyektif dengan interpretasi makna karya sastra yang
tergantung pada pembaca ternyata juga tidak tepat. Antara analisis struktural
dengan interpretasi ada hubungan dialektik seperti antara bagian-bagian dan
keseluruhan sebuah teks dan pembaca. Praha diwakili oleh aliran estetik
resepsi, yang dipelopori oleh Hans Robert Jausz. Aliran ini mempunyai latar
belakang ilmiah yang lain sekali, tetapi mereka mempunyai latar belakang ilmiah
yang lain sekali, tetapi merekapun menekankan peranan pembaca selaku pemberi
makna, sehingga konsep struktur dinisbikan artinya untuk ilmu sastra.
12. Analisis
struktur dan fungsi kemasyarakatan karya sastra
Foulkes dianggap pula eliter untuk karya
sastra dalam praktek berarti melepaskan karya dari fungsi dan relevansi
sosialnya. Foulkes menyatakan aliran formalis dapat memberi sumbangan pada cara
memandang yang menghilangkan makna yang sungguh-sungguh baik pada karya sastra,
maupun pada peristiwa yang nyata. Menurut Foulkes pendekatan strukturalis
malahan dimanfaatkan oleh kekuasaan yang ada pada golongan elit untuk menindas
revolusi sosial, emansipasi wanita, orang hitam dan lain-lain.
Bagi Foulkes tidak dapat disaksikan bahwa
pendekatan obyektif, dengan istilah Abrams, tidak mungkin dan tidak boleh
dilakukan. Oleh karena pada prinsipnya interprestsi sebuah karya hanya dapat
diberikan dalm rangka model semiotik yang total. Disamping faktor setruktur,
khususnya faktor mimetik dan pembaca harus diberi tempat yang selayaknya dalam
proses pemberian makna. Keberatan kritik Foulkes terhadap setrukturalisme
menekankan aspek mimetik, yaitu keterkaitan antara kenyataan dan karya seni.
Penekanan aspek mimetik tidak berarti bahwa analisis karya tidak dianggap
penting atau layak lagi.
13. Strukturalisme
Genetik
Menurut Goldmann stuktur kemaknaan itu
mewakili pandangan dunia penulis, tidak sebagai individu, tetapi sebagai wakil golongan masyarakatnya . Maka itu
varian stukturalis Goldmann disebut strukturalis genetik yang menerangkan karya
dari homologi, persesuaiannya dengan struktur sosial.
VI.
Penulis Dalam Model Semiotik
1.
Longinus dan aspek
ekspresif karya sastra
Puitik
Aristoteles ditekankan terutama dua faktor model semiotik yaitu karya sastra
sebagai stuktur yang menyeluruh dan karya sastra dalam hubungannya dengan kenyataan. Ars poetica menekankan aspek
pragmatik: sastra harus memberi manfaat dan nikmat. Menurut Longinus yang
merupakan syarat mutlak dan paling penting untuk penciptaankarya yang agung,
tetapi gagasan itu seolah-olah tengelam berabad-abad lamanya. Abrams menyatakan
tidak ada yang sama banyaknya menghasilkan keagungan seperti emosi mulia pada
tempat yang tepat, emosi mengilhami dan merasuki kata-kata dengan semacam
keedanan dan semangat ilahi.
2.
Abad pertengahan: manusia
selaku pencipta meneladan ciptaan tuhan
Menurut Jausz karya seni diangap sebagai
tekhne, kepandaian atau kemahiran yang memang tinggi. Namun selalu harus
ditempatkan alam menjadi taladan, yang mau tak mau harus diikutu seniman.
Menurut sejarahnya penciptaan puisi dan seni dapat diperikan sebagai perwujudan
gagasan manusia selaku pencipta, yang berkembang secara berangsur-angsur. Dalam
rangka peneladanan alam, maupun dalam dunia masehi manusia hanya sebagai
pembantu dan hamba tuhan. Jausz menyatakan penyair menjadikan baik alam kedua,
maupun juga bermacam-macam peruntungan, serta akhirnya menjadikan diri seperti
tuhan kedua.
3.
Pengakuan Augustinus dan
pengakuan Rousseau
Jausz menyebut empat pokok
perselisihan antara dua pandangan tersebut yaitu:
a.
Dalam confessiones
Augustinus manusia digambar sebagai hamba yang takluk pada tuhan. Riwayat
hidupnya hanya bertujuan untuk menghilangkan dirinya. Dalam les confessions
Rousseau manusia adalah otonom, hanya takut pada hukum sendiri. Tujuan riwayat
hidup adalah penemuan dan pengunkapan diri manusia yang unik.
b.
Augustinus
mempertentangkan tuhan yang tak berubah, tetapi yang mengubah segala sesuatu
dalam alam semesta dengan riwayat manusia yang terpecah antara yang dahulu dan
masakini, akibat dosanya manusia kehilangan keutuhannya. Sedangkan Rousseau
mengajukan keutuhan dan keatuan riwayat hidup manusia, pada asalnya manusia
tidak berdosa, hanya masyarakatlah yang merusak dunia manusia.
c.
Augustinus
mempertentangkan tuhan yang abadi, yang tak terikat pada waktu dan tempat,
dengan manusia yang tak sempurna dan yang ingatannya dan pengetahuannya
fragmentaris saja. Bagi Rousseau manusia sebagi individu mempunyai pengalaman
dan penghayatan menyeluruh, melalui daya imajinasinya ia berhasil membayangkan
keunikannya yang menjadi kebangaannya.
d.
Kata Augustinus tuhan
yang maha tahu, sedangkan manusia tidak mengenal dirinya. Tetapi bagi Rousseau
manusia tahu beres, dialah maha tahu, dia dapat membenarkan dirinya sendiri.
4.
Kaitan antara mimesis dan
creatio dari segi bahasa
Teori mimesis pada prinsipnya mengangap
karya seni sebagai pencerminan, penirauan ataupun pembayangan realitas.
Peniliti sosiologi sastra dan peneliti lain yang menganggap karya seni sebagai
dokumen sosial. Peralatan konsep tual yang di berikan dalam konsep sistem
bahasa tidak langsung terikat pada kenyataan manapun juga dan memberi
kelonggaran pada pemakainya untuk memanfaatkanya bagi angan-angan. Segi bahasa
sudah jelas ada ambiguitas terhadap kenyataan. Ada peneliti yang berpendapat
bahwa justru bahasalah yang memberi kmungkinan dan pembatasan pada kita untuk
mengetahui kenyaataan.
5.
Kenyataan dari segi
sosiologi
Bahasa tidak hanya mengintegrasi berbagai bidang
pengalamn sehari-hari menjadi keseluruhan yang berarti. Bahasa juga
memungkinkan mengatasi kenyataan sehari-hari dan memindahkan kenyataan yang
tidak nyata, kedalam kenyataan sehari-hari. Jadi dapat di katakan bukanlah
kenyataan yang menentukan penafsiran kita terhadap kenyataan, tetapi
penafsiranlah yang menentukan apakah dan bagaimanakah kenyataaan yang dapat
kita lihat dan pahami serta cara kita melihatnya.
6.
Sastra : peneladanan dan
sekaligus model kenyataan
Culler mengatakan roman bertindak sebagai
model lewat mana masyarakat membayangkan diri sendiri, penuturan dalam dan
lewat mana disendikannya dunia.
Identitas kita tergantung pada roman. Roman adalah pelaku keterpahaman semiotik
yang primer. Pertentangan antara mimesis dan creatio adalah pertentangan nisbi
ataupun pertentangan semu. Hubungan antara seni dan kenyataan bukanlah hubungan
searah. Hubungan itu selalu merupakan interaksi yang kompleks dan tak langsung.
Konvensi tidak terjadi tanpa terpengaruhi
oleh kenyataan. Kenyataan berpengaruh besar dan mengarahkan terjadinya konvensi
bahasa sastra dan sosial. Tetapi sebaliknya pengamatan penafsiran kenyataan
diarahkan pula oleh konvensi tersebut. Pembaca harus selalu bolak-balik antara
kenyataan dan rekaan, antara mimesis dan creatio.
7.
Roman dalam ketegangan
antara kenyataan dan rekaan
Dunia kenyataan dan dunia rekaan selalu
saling berjalinan, yang satu tidak bermakna tanpa yang lain. Secara faktual
kaitan antara kenyataan diberikan setepat mungkin sangat berbeda-beda.
Pemberian makna memerlukan bolak-balik antara kenyataan dan makna dibelakang
dunia kernyataan.
8.
Masalah realisme dalam
sejarah sastra
Pengkritik sastra Sainte menuntut agar
sastra secara setia menyajikan kenyataan, lagi pula tidak membatasi diri pada
kenyataan lingkungan . Pendekatan ini diperkuat lagi oleh pengaruh ilmu
pengetahuan . Zola menganggap perlu mengatakan penelitian ilmiah untuk roman
yang ingin dituliskannya, dan dia juga berpendapat bahwa seorang penulis sastra
harus jujur dan terus terang, sehingga hal yang paling jelek dan keji serta
mengerikan yang terdapat dalam kenyatan tidak boleh ditiadakan atau
disembunyikan.realisme mutlak dalam roman manapun juga tidak ada. Secara prinsip
roman realis tidak berbeda dengan roman lain, ataupun dengan sajak lirik dalam
karya sastra.
9.
Roman sebagai dokumen
sosial ?
Tiap karya sastra ada keterpaduan antara
kenyataan dan kekhayalan. Orang harus hati-hati daam usaha ingin mengambil
fakta dari tulisan rekaan. Walaupun nampaknya tulisan itu harus realis. Karya
rekan memang merupakan dokumen sosial. Kebenaran lewat sastra pembaca
seringkali jauh lebih baik dari lewat tulisan. Sastra yang baik menciptakan
kembali rasa kehidupan, bobotnya dan susunannya. Sastra baik menciptakan
kembali kemendesakan hidup.
10. Kenyataan
dalam puisi lirik
Puisi lirik pada prinsipnya mirip dengan
kenyataan. Menurut Kloos seni adalah ungkapan yang paling individual dari emosi
yang paling individual. Puisi lirik baru dapat dipahammi dan nilai seluruhnya
dalam kaitannya yang kompleks antara pengakuan yang paling individual si
penyair lewat aku liriknya.
11. Kenyataan
dalam babad dan sejarah
Pendekatan terhadap teks tradisional ini
memang khas bersifat mimeti, mengharapkan sejarah dari teks-teks tertentu.
Tetapi pendekatan mimetik ini tidak sesuai dengan sifat teks yang bersifat
kesastraan. Rassers mendekati teks sejarah ini dari segi antrpologi, melihatnya
sebagai pemberian makna. Pemberian makna secara mimetik dalam penulisan sejarah
pasti keliru. Perpaduan serta tegangan antara mimetis dan kreasi adalah esensi
teks, juga teks sejarah yang dibicarakan disini.
12. Sastra
dan penulisan sejarah
Aristoteles berpendirian bahwa sipenyair
sebenarnya lebih ulung pekerjaanna daripada si sejarawan. Sejarawan yang mau
tak mau terikat pada fakta-fakta yang kebetulan pernah terjadi. Sejarah harus
ditulis kembali, terus menerus. Keobyektifan mutlak tidak pernah tercapai,
karena beberapa hal yaitu fakta-fakta tidak pernah lengkap, penulis sejarah mau
tak mau harus berlaku selektif, penulis itu sendiri adalah manusia yang latar
belakang.
13. Hayden
White mengenai sejarah dan sastra
Hayden berpendapat bahwa tulisan sejarah
tidak hanya dari segi fakta yang diolah dan situasi sejarawan harus bersifat
subyektif atau relatif nilainya. Hayden lebih
prinsipil mempertahankan pendirian bahwa penulisan sejarah menurut
esensinya tidak berbeda dengan sastra. Hayden berpendapat juga bahwa
pandangannya tidak merendahkan derajat atau gengsi ilmu sejarah. Dengan
menyadari bahwa dalam persepsi setiap sejarawan mau tak mau ada unsur rekaan.
IX. Teks Karya Sastra Sebagai Variabel Dalam
Model Semiotik
1.
Kemampuan sebuah teks
Menurut Bowers pengaruh perusak karya
sastra yang tak kenal ampun, yang menggerogoti sebuah teks sepanjang waktu
penurunannya. Kenyataanya teks apapun juga cenderung berubah dan tak tidak
stabil wujudnya sepanjang masa. Masalah ini yaitu karya sastra sebagai
variabel, dengan konsekuensinya untuk fungsi karya sastra sebagai tanda dalam
model semiotik. Dalam hubungan dan peranan pembaca serta faktor-faktor lain
yang relvan yang ditimbulkan oleh model tersebut.
2.
Filologi atau tekstologi
sebagai studi sejarah teks
Filologi dalam tradisi barat, diperluas
artinya sehingga praktis sama dengan studi kebudayaan berdasarkan teks dan
bahan-bahan. Istilah tekstologi akan dipergunakan untuk menunjukan studi
sejarah teks. Sebuah karya mungkin tersimpan dalam beberapa versi,
masing-masing diwakili oleh sejumlah naskah. Istilah teks dipakai secara umum
untuk wujud sebuah tulisan. Batas antara versi dan naskah tidak jauh berbeda,
namun tidak cukup berdekatan pula disebut satu versi.
Tiga
macam tekstologi, menurut ragam penurunan teks yaitu :
a.
tekstologi yang meneliti
sejarah teks lisan
b.
tekstologi yang meneliti
sejarah teks manuskrip
c.
tekstologi yang meneliti
sejarah buku catatan
Batas antara tekstologi buku dan
tekstologi naskah tidak jelas. Tekstologi mengenai karya Shakespeare walauun
pada prinsipnya berdasarkan edisi awal yang tercetak namun banyak menunjukan
ciri khas filologi naskah.
3.
Tekstologi buku cetakan
Bowers mengatakan pengkritik sastra harus
menjadi njlimet, serta meninggalkan kepercayaan kekanak-kanakan pada kemutlakan
kata cetakan. Dengan perbaikan teknologi percetakan jelaslah terjadi perubahan
yang penting, buku cetakan dapat disebar luaskan dalam bentuk yang identik
dengan jumlah yang cukup besar.
4.
Sebab musabab teks
cetakan tidak mantap
Perubahan
yang diadakan sebuah teks dengan sengaja. Dapat dibedakan beberapa hal yaitu :
a.
Perubahan dalam hal
transliterasi dari satu sistem tulisan ke sistem lain.
b.
Penggarapan kembali
sebuah teks yang sudah dicetak oleh pengarang.
c.
Sebuah teks cetakan
diubah atas anjuran atau petunjuk penerbit
d.
Teks cetak yang diubah
karena campur tangan sensor atau pembesar dengan alasan politik
5.
Tekstologi naskah sedikit
sejarahnya
Metode yang dikembangkan oleh Lachmann
berpangkal pada hipotesis bahwa sebuah teks pernah tercipta dalam bentuk asli
yang unik dan murni. Tujuan utama filologi menurut mereka ialah memulihkan teks
asli dan murni itu. Pada prinsipnya hubungan gagasan filolog dua naskah
mempunyai sejumlah kesalahan bersama yang cukup besar dan relevan secara
independen.
6.
Filologi di Indonesia
Filologi ala Lachmann sadar juga bahwa
archetypos belum identik dengan tulisan asli teks yang diinginkan
rekonstruksinya. Prinsip edisi diplomatik yaitu dengan setia menerbitkan naskah
sebagaimana adanya, dengan mengadakan perubahan dan perbaikan yang dianggap
perlu sebuah komentar.
7.
Kritik terhadap filologi
tradisional, khususnya metode stemma
Metode stemma memperlihatkan pendekatan
terhadap teks yang menekankan aspek ekspresif. Sikap peneliti tekstologi
terhadap naskah juga berubah, makin disadari bahwa metode skemma baik dari segi
teori maupun penerapannya menunjukan beberapan kelemahan. Satu prinsip utama
skemma ialah adanya satu teks purba yang asli dan utuh, yang ditulis oleh
seorang penulis.
Hipotesis yang mendasari metode skemma
mengandaikan tidak ada kontaminasi, perubahan naskah. Naskah hanya diturunkan
vertikal dari naskah yang merupakan induknya. Metode skemma pun tidak benar
mutlak, malahan sering sangat meruwetkan.
8.
Variasi naskah : korupsi
atau kreasi
Filologi modern variasi naskah justru
seringkali dilihat sebagai kreasi yaitu teks oleh penyalin di sesuaikan dengan
perubahan dalam lingkungan sosio-budaya dimana salinan itu harus berfungsi
menurut harapan pembaca yang menjadi sasaran naskah baru itu. Penelitian naskah
memberi informasi yang relevan untyk mengetahui sejah dan resepsinya.menurut
Day setiap naskah harus diteliti, dibaca, dinikmati, dan dinilai atas dasar
mutunya sendiri, sebagi hasil daya cipta seorang pujangga.
9.
Sepuluh dalil Lichacev
untuk tekstologi
Bunyi sepuluh tesis Lichachev yaitu :
a.
Tekstologi ialah cabang
ilmu pengetahuan yang menyelidiki sejarah teks suatu sastra
b.
Pertama-tama penelitian
teks, kemudian penerbitannya
c.
Edisi teks harus
menggambarkan sejarahnya
d.
ada kenyataan tekstologi
diluar penjelasannya
e.
Kesaksian perubahan teks
yang sadar diadakan secara ideologis, estetik, psikologi.
f.
Teks perlu diteliti
keseluruhannya
g.
Bahan penyerta tekstologi
dan suatu karya sastra dala satu kumpulan
h.
Perlu diteliti bayangan
sejarah teks sebuah karya dalam monumen sastra lain
i.
Pekerjaan sang penyalin
dan kegiatan skriptoria perlu diteliti
j.
Rekonstuksi
suatu teks tidak dapat menggantikan teks yang di turunkan secara faktual
X. Studi Sastra Lisan Dalam Rangka Semiotik
Sastra
1. Gayutan sastra lisan
dalam kerangka teori sastra umum
Alasan
mengapa dianggap penting perhatian untuk bentuk sastra lisan yaitu :
a.
Ada perbedaan antara
sastra lisan dan sastra tulis. Sastra tulis tidak memerlukan komunikasi
langsung antara pencipta dan penikmat.
b.
Peneliti sastra lisan
biasanya berlangsung dalam rangka yang berbeda-beda dengan ilmu sastra umumnya.
c.
Kerangka teori sastra
sekaligus dapat dipakai untuk sastra lisan
d.
Kedua
bentuk sastra masih berdampingan, tetapi sering pula ada keterpaduan
2. Minat untuk sastra lisan di Eropa : sedikit sejarahnya
Puisi adalah cara berbahasa yang asli,
dalam puisi yang disebut primitif kekuatan asli manusia yang mulai berbahasa
masih diselamatkan, tetapi kemudian kemampuan itu makin pudar, dipengaruhi oleh
perkembangan kebudayaan. Khususnya tulisan yang meniadakan anasir hakiki dari
puisi. Penelitian ilmu folkor tidak terbatas pada cerita saja, tetai juga
mengumpulkan data mengenai adat istiadat, kebudayaan kebendaan, dan lain-lain.
3. Minat untuk sastra lisan di Indonesia: sedikit sejarahnya
Van Der Tuuk tidak berminat u ntuk sastra
rakyat, tetapi bagi dia sastra rakyat sangat penting sebagai bahan untuk studi
bahasa, dan dia menyuruh sejumlah informan untuk menulis sebanyak mungkin cerita rakyat dalam bahasa mereka yang asli.
4. Perkembangan penelitian sastra rakyat kemudian mazhab
Finlandia
Masalah utama yang dihadapi peneliti
ialah masalah klasifikasi dan organisasi bahan-bahannya. Untuk penggolongan
cerita rakyat mazhab ini memakai dua konsep dasar yaitu type dan motif. Jadi
cerita digolongkan menurut typenya. Sedangkan motif didefinisikan sebagai
anasir terkecil dalam sebuah cerita yang mempunyai daya tahan dan tradisi.
Prakteknya ternyata penggolongan tipe dan motif sangat sulit. Penggolongan ini
sendiri tidak konsisten atau bersifat subyektifitas.
5. Penelitian Propp mengenai doneng Rusia
Propp menguasai atau menentukan susunan
plot dalam sebuah dongeng Rusia. Propp memerlukan analisis struktur folktale
yang mencoba memastikan anasir hakiki setiap dongeng yang dibicarakannya.
Berdasarkan analisis seratus dongeng secara singkat yaitu :
a.
Dalam sebuah dongeng
bukanlah tokoh atau motifnya, melainkan fungsi tokoh tersebut
b.
Untuk fairy tale jumlah
fungsi terbatas
c.
Urutan fungsi dalam
setiap dongeng selalu sama
d.
Segi struktur, semua
dongeng mewakili hanya satu type saja
Fungsi teori Proop adalah tindak seorang
tokoh yang dibatasi dari segi maknanya untuk jalan lakonnya. Propp juga
mengembangkan skemma yang selalu sama menurutnya ada 31 fungsi. Kritik
utama terhadap Propp menyangkut pilihan
dan anasir fungsi. Sebab ternyata Propp sembarangan menganggap unsur cerita.kon
sep fungsi menjadi ruwet, tidak dapat dibuktikan benar tidaknya.
6. Penulisan
puisi lisan : Parry dan Lord
Ide
baru Homerus yang dilancarkan Parry adalah untuk penciptaan karyanya
memanfaatkan persediaan formula yang menjadi modalnya, yang siap dipakai sesuai
dengan persyaratan mantra yang dimanfaatkan eposnya. Epos Homerus ternyata
dimanfaatkan dalam puisi mantra tertentu. Beberapa kesimpulan penting Pary dan
Lord mengenai epos Yugoslavia yaitu :
a.
Epos rakyat Yugoslavia oleh penyanyinya tidak dihafalkan
secara turun temurun
b.
Prestasi menciptakan
karya yang panjang itu lebih mengherankan, karena perhatian skemma mantra yang
harus dipakai cukup ketat
7. Penelitian
modern tentang sastra rakyat di Indonesia : Fox Sweeney
Sweeney menegaskan bahwa tukang cerita
Melayu sungguh profesional. Setiap tukang cerita memiliki sejumlah lagu.
Masing-masing untuk cerita tertentu. Persamaan situasi tukang cerita Melayu
adalah daya cipta dalam menggubah cerita ini. Tukang cerita yang baik dan
pengalaman tiak menghafalkan teks yang mantap, tetapi setiap kali dibawakan
diciptakan kembali. Fox membicarakan jenis puisi yang disebut bini, dan puisi
keagamaan. Orang Roti juga memasukkan puisi dialek bahasanya dalam kosa
tersebut. Puisi Roti merupakan contoh yang sangat baik terhadap keterkaitan
fungsi puisi dalam kehidupan kemasyarakatan yang lebih luas.
XI.
Teori Sastra Dan Sejarah Sastra
1.
Pendekatan sejarah sastra
yang tradisional
Ilmu sastra terarah pada sejarah sastra.
Tetapi tidak berarti ilmu sastra bersifat kesejarahan. Sebab pendekatan
historik terjelma dalam berbagai bentuk. Empat pendekatan yang utama yaitu :
a.
Sejarah sastra ditaklukan
pada sejarah umum, sehingga karya sastra dan penulisnya ditempatkan dalam
rangkaa yang disediakan oleh ilmu sejarah umum
b.
Pendekatan yang mengambil
kerangka karya atau tokoh agung, gabungan dua kriteria.
c.
Sejarah sastra yang
memusatkan perhatian pada motif atau tema yang terdapat dalam karya sepanjang
zaman.
d.
Lebih memperhatikan asal
usul karya sastra daripada struktur dan
fungsinya.
2.
Prinsip dasar sejarah
sastra
Setiap karya adalah manifestasi sebuah
sistem yang sedikit banyaknya harus dikuasai oleh pembaca agar karya yang
dibacanya dapat diberi makna. Guillen mengembangkan konsep sastra sebagai
sistem dan fungsi genre sebagai unsur hakiki dalam sistem itu berdasarkan studi
yang sangat mengesankan mengenai perkembangan roman pikaresk sebagai jenis
sastra.
3.
Beberapa faktor yang
relevan untuk sejarah sastra
a.
Dinamika sistem sastra
Konsep jenis sastra yang modern bersifat
dinamik, tidak starik. Hal itu disebabkan oleh pandangan karya sastra selalu
berada dalam tegangan antara konvensi dan kreasi. Norma dan konvensi jenis
sastra tetap berubah, dan itulah termasuk hakikat sejarah sastra.
b.
Pengaruh timbal balik
antara jenis sastra
Fungsi jenis sastra tertentu tidak hanya
ditentukan oleh ciri-ciri instrinsiknyatetapi pula oleh kaitan atau
pertentangannya dengan jenis lain. Dalam sejarah sastra dapat dilihat
transformasi teks tertentu dari jenis satu jenis ke jenis yang lain. Sejarah
sastra pada prinsipnya harus berpusat pada sejarah jenis sastra namun jenis
sastra dan perkembangannya tidak boleh ditelusuri dalam isolasi.
c.
Intertektualitas karya
individual dan sejarah sastra
Hubungan yang ambigu antara karya
individual dan norma-norma jenis sastra. Karya sastra sekaligus merupakan
pelaksanan norma jenis sastra dan pelanggaran terhadap norma yang sama.
d.
Sejarah sastra dan
sejarah umum
Hubungan antara perkembangan sastra dan
perkembangan masyarakatlah dalam hubungan timbal balik, baik sastra itu
bersifat afirmatif. Ricklefs mengatakan gejala yang sangat menarik dan penting,
tetapi pengaitannya dengan perkembangan masyarakat umum pada waktu itu sulit.
e.
Penelitian resepsi sastra
dan sejarah sastra
Resepsi karya sastra tidak hanya oleh
para pembaca sezamannya, tetapi juga resepsi oleh angkatan pembaca yang
menentukan makna dan nilai satu teks. Jausz memperlihatkan bahwa pergeseran
penilaian karya sastra sepanjang masa merupakan sumber pengetahuan dan
pemahaman karya sastra yang sangat penting. Anggapan pentingnya karya sastra
lewat resepsi karya sastra sebagai faktor dalam sejarah sudah cukup luas
diterima.
f.
Sastra lisan dan sejarah
sastra
Masalah pertama menyangkut sastra lisan
dalam sejarah sastra. Sastra yang seluruhnya jelaslah menyangkut sastra oral
sukar ditulis sejarahnya. Di Indonesia pun sastra lisan dari masa prasejarah
sampai kini memainkan peranan yang penting. Sebagian besar sastra lisan itu
hilang, tak berbekas. Sastra lisan yang masih ada sekarang adalah berkat usaha berbagai
peneliti.
g.
Sejarah sastra Indonesia
dan sejarah dalam bahasa Nusantara
Hubungan antara sejarah sastra ekabahasa
dan sejarah sastra se-Indonesia. Pentingnya bahasa sebagai sarana pengikat dan
pembatas sastra sukar di sangkal. Sastra berkembang dalam suatu masyarakat
bahasa, atas dasar pemahaman karya sastra sebelumnya. Namun tak dapat disangkal
bahwa sistem sastra tertentu tidak tumbuh dan berkembang dalam isolasi mutlak.
4.
Beberapa saran dan contoh
tentang penulisan sejarah sastra : metode penampang sinkronik: Jausz 1857 dalam
lirik Perancis
Tidak ada satu pendekatan yang dapat
dipakai untuk menulis sejarah sastra. Kekomplekskan masalah sejarah sastra
hanya dabat diatasi dengan pendekatan yang
keanekaragaman. Satu pendekatan dari segi tekhnik penelitian memberi
harapan akan hasil yang memuaskan dalam sirtuasi sejarah. Puisi Baudelaire yang mendobrak cita-cita
keindahan itu dan yang mencari yang indah dalam yang uruk dan jahat. Baudelaire memecahkan norma
puisi yang sekaligus mewakili ideologi.
Jausz berusaha mengaitkan antara situasi
sastra dengan situasi kemasyarakatan. Jausz mendasarkan pandangannya mengenai
dunia sosial pada teori sosiologi kognitif. Pendobrak horisan harapan pembaca
menurut pandangan Jausz terbukti berkaitan antara lansung dan tak langsung
dengan tegangan dalam sistem nilai sosial.
5.
Kemungkinan penerapan
metode penampang sinkronik di Indonesia
Hubungan instrinsik antara karya-karya
dapat ditelusuri berdasarkan analisis instrinsik serta data ekstrinsik.
Penelitian resepsi sastra secara agak luas dan representatif biasanya tidak
mudah. Tetapi kaitan antara sastra dan keadaan oleh penampang sinkronik dapat
di teliti. Pendekatan yang seragam dapat dibayangkan untuk sastra Jawa baru, khususnya sastra yang
tercipta dan dihayati pada kraton di Jawa Tengah.
6.
Sejarah Sastra
se-Indonesia
Penelitian sastra lisan dapat
diperhatikan minat yang makin meningkat untuk masalah sejarah sastra. Baik dari
segi teori maupun praktis. Berdasrkan konsep-konsep teori sastra dan pemahaman
yang lebih tajam mengenai ciri khas karya sastra dan konvensi sastra sebagai
sistem sinkronik. Sejarah sastrapun dapsat dikembangkan pada tataran yang lebih
tinggi dan dengan perlengkapan konseptual yang lebih maju dan sempurna.
XII.
Sastra Sebagai Seni : Masalah Estetik
1.
Ilmu sastra dan estetik
Karya sastra dapat didekati dari dua segi yang
cukup berbeda. Terutama dibicarakan masalah satra sebagai seni bahasa, dengan
tekanan pada aspek kebahasaanya dalam kaitan dan pertentangannya dengan bentuk
dan pemakaian bahasa lain. Sastra juga merupakan bentuk seni, jadi dapat
didekati dari aspek keseniannya. Seni bahasa menimbulkan masalah yang khas,
karena bahasa sebagai sarana seni bagi seniman. Bahasa sebelum dipakai oleh
seniman untuk membentuk sistem tanda dengan sistem makna yang mau tak mau
mendasari ciptaan sastrawan.
2.
Sistem sejarah estetik
sastra Barat
Keindahan yang mutlak menurut Plato hanya
terdapat pada tingkatdunia ide-ide, dan dunia ide yang mengatasi kenyataan
itulah dunia ilahi yang tidak langsung terjangkau oleh manusia. Para filsuf mendekati dunia ide
lewat harmoni yang ideal. Plato secara tak langsung seni berhubungan dengan
hakikat benda-benda. Seni sejati berusaha mengatasi kenyataan, dalam bayang-bayang yang hina diusahakannya
menyarankan sesuatu dari dunia yang lebih tinggi. Pemandangan mengenai seni
dari segi estetik pada masa itu berdasarkan dua hal yang hakiki. Pertama
persatuan mutlak dari yang baik, yang benar dan yang indah sangat lama
menguasai estetik Barat.
3.
Estetik terlepas dari
norma agama dan etik
Norma-norma untuk estetik pada satu pihak
terdapat dalam etik dan filsafat. Petratarca mengatakan memang secara sadar
mengalami dan menikmati keindahan alam sebagai sesuatu yang baru bagi dia
pribadi. Pengalaman estetik secara mutlak kepada penikmat, jadi pembaca,
penonton, pendengar. Menurut pendapat ini keindahan nilai estetik bukanlah
sesuatu yang secara objektif terletak dalam karya seni. Penikmat menjadi
pencipta serta. Obyek bambigu Jausz memperlihakan bagaimana kuno batas antara
seni dan alam. Bahkan batas antara seni dan kenyataan menghilang.
4.
Beberapa pendekatan
estetik Indonesia : Melayu dan Jawa Kuno
Teori estetik yang eksplisit tidak
diketahui dibidang sastra Indonesia yang tradisional. Ada konsepsi estetik yang
secara implisit terkandung dalam sastra Melayu klasik dalam puisi Jawa kuno. Teori ini
digali oleh peneliti karya-karya sastra yang bersangkutan dan yang kemudian
dipaparkan dalam setudi yang sangat menarik. Braginsky membedakan tiga aspek
pada konsep keindahan melayu. Aspek ontologisnya yaitu keindahan puisi sebagai
pembayangan kekayaan Tuhan Yang Maha Pencipta. Bentuk puisi epik yang terkenal
dalam sastra Jawa kuno mencapai kesimpulan bahwa puisi bagi sang penyair adalah
semacam yoga.
Puisilah yang menjadi sarana untuk
mencapai seni dan terahir.estetik tidak bersifat otonom, fungsi seni diabdikan
pada fungsi agama. Lewat seni manusia diperhadapkan dengan keagungan ciptaan
Tuhan dan dia akan menghilangkan diri dalam keagungan pesona itu.
5.
Tegangan sebagai dasar
penilaian estetik
Penelitian estetik harus mendapat tempat
yang layak dalam rangka penelitian kebudayaan umum. Fungsi estetik adalah cara
subjek melaksanakan diri terhadap dunia lahir. Fungsi estetik bukanah
pertama-tama atau semata-mata kualitas karya seni secara obyektif. Perbedaan
antara unsur bahasa sebagai tanda dan karya sastra sebagai tanda. Unsur bahasa
mempunyai makna yang tetap, yang terletak pada tanda itu sendiri.
Estetik menilai seni ditentukan oleh
tegangan antara karya seni sebagai sesuatu yang tersedia secara tetap dan sikap
dan pengalaman seseorang penikmat atau pengamat yang tetap berubah. Penikmat
estetik tergantung pada tegangan antara yang baru dan yang lama. Fungsi estetik
tergantung pada dan ditentukan oleh tegangan antara pemenuhan dan pendobrakan
harapan. Tegangan adalah syarat mutlak dasar hakiki untuk penikmat estetik dan
tegangan itu terjelma antara karya seni sebagai berian, dan penikmat sebagai
variabel.
6.
Tegangan pertama : fungsi
puitik bahasa
Puisi lirik dan puisi epik berbeda
konvensi bahasanya. Konvensi pemakaian bahasa dalam sastra mau mengharapkan
sesuatu yang ekstra. Dalam sastra arti sehari-hari ditingkatkan menjadi makna
semiotik. Entah disebut ambiguitas. Tegangan itu merupakan bagian yang hakiki
dari penikmat estetik dalam sastra.
7.
Tegangan yang inheren
pada struktur karya sastra
Struktur karya sastra bersifat
multidimensional. Ingarden membedakan lima lapis atau strata norma-norma.
Bunyi, dunia kata sebagai satuan arti. Segi pandangan karya yang mungkin
terungkap, lapis kualitas metafisik. Pembaca sebuah karya terus berada dalam
situasi tegangan antara semua aspek yang ingin dibina menjadi keseluruhan yang
utuh. Tanpa tegangan semacam itu penilaian estetik pasti lebih rendah.
8.
Variasi karya sebagai
sumber tegangan
Kenikmatan estetik dipertinggi oleh
pelaksanaan tegangan yang sangat fundamental. Pembaca biasa seringkali tidak
sadar akan variasi dalam bentuk sebuah teks, sehingga dia menerima teks yang
kemudian diperolehnya. Variasi sebuah teks yang sama dapat menimbulkan
kegairahan yang khas. Variasi antara satu naskah dengan naskah lain mempunyai
fungsi semiotik secara intertekstual. Bagi para ahli nilai estetik dapat
dipertinggi oleh variasi yang pada
penglihatan pertama oleh orang awam.
9.
Tegangan antara konvensi
sastra dan karya individual
Pemahaman dan penilaian karya sastra
pembaca tidak hanya diarahkan dan dibimbing oleh kemampuannya sebagai pemakai
bahasa. Sistem konvensi itu sangat kompleks dan seringkali bersifat hirarkis.
Hubungan intertekstual sebuah karya tidak sadari atau diketahui oleh setiap
pembaca, dan kenikmatan membaca tidak harus berdasarkan pengetahuan atau
penghayatan karya sastra yang merupakan hipogramnya.
10. Tegangan
antara mimesis dan kreasi, atau kenyataan dan alternative
Ambivalensi karya sastra terhadap
kenyataan merupakan prinsip dasar kesusastraan. Dalam kontfrontasi antara norma
kenyataan dan norma alternatif mungkin timbul keterharuan, pengalaman estetik
pada pembaca oleh karena disadarinya tegangan antara realitas dan impian
hidupnya.
11. Situasi
pembaca sebagai sumber tegangan
Pembaca setidak-tidaknya harus
diperincikan dari dua segi yaitu sosial dan waktu. Pembaca sebuah karya sastra
dapat berbeda mengenai latar belakang sosio-budaya. Penilaian karya sastra
sebagian besar tergantung dari kaitan antara karya sastra pencipta dan
pembacanya. Kaitan itu bersifat sangat eksklusif. Tegangan sosial yang
terungkap dalam karya sastra mempertinggi penilaiannya pada golongan tertentu.
Dan sebaliknya menjadikan orang lain membenci pada karya itu.
12. Pemikiran
estetik dan jarak waktu
Jausz menyimpulkan bahwa si peneliti
harus dan dapat berusaha untuk memperoleh penikmatan baru. Tegangan antara
keasingan dan keakraban yang justru bagi teks ini sangat besar karena jauhnya
jarak itu, juga memperbesar kemungkinan penikmat estetik. Tegangan itu malah
merupakan syarat mutlak sebab karya sastra selalu sekaligus bersifat historik.
Lewat usaha hermeneutik sastra lama tidak mustahil dikejar lagi nilai
estetiknya. Dimensi sejarah dapat memperkuat penilaian estetik, karena waktu
berfungsi sebagai jaringan, sehingga seleksi karya-karya dari masa lampau
lebih udah dilakukan oleh waktu itu
sendiri.
13. Tegangan
antara penulis dan karyanya dalam penghayatan pembaca
Proses
semiotik yang menyangkut karya sastra kita menghadapi sebuah komunikasi antar
manusia di mana penulis, antara makna karya sastra dan pesan yang dianggap
berasal dari tokoh penulis menunjukkan ambivalensi yang dalam hal karya konkrit
ikut menentukan nilai karya sastra.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar