BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Aceh
telah mewariskan pusaka khazanah berharga berupa naskah-naskah tulisan tangan
(manuscripts) sejak beberapa abad yang lalu, negeri Serambi Mekkah bagi para
ilmuwan filolog dikenal juga sebagai “Lumbung Naskah” tersimpan puluhan, atau
bahkan ratusan ribu naskah dipastikan terdapat di nanggroe Rencong, yang
sebagiannya kini sulit terjamah di negerinya sendiri, sedangkan sebagian
lainnya tersimpan di sejumlah perpustakaan di luar Aceh, seperti Perpustakaan
Nasional RI di Jakarta, Perpustakaan Universitas Leiden dan Universiteitsbibliotheek
di Belanda, Perpustakaan Negara Malaysia (PNM) di Kuala Lumpur.
Banyaknya
karya ulama-ulama Aceh terkemuka terutama pada abad ke-16 sampai abad ke-18
seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin as-Sumatra’i, Nuruddin al-Raniri, Abdurauf
ibn Ali al-Jawi al-Fansuri, Fakih Jalaludin, Teungku Khatib Langgien, Muhammad
Zein, Abbas Kuta Karang, Teungku Chik di Leupe (Daud Rumi), Jalaluddin Tursany,
Jamaluddin ibn Kamaluddin, Zainuddin, Teungku Chik Pante Kulu, dan banyak
tokoh lainnya yang memiliki karakteristik dan kekhasan serta identik dengan
khazanah Islam lokal dan universal.
Diantara
kitab terkenal adalah Buṣtān as-Salātīn fī Zikr al-Awwalīn wal Ākhirīn
(Bustanussalatina), yaitu salah satu kitab fenomenal yang disusun pada abad
ke-16 tepatnya pada masa Iskandar Muda (1607-1636) sampai pada masa Sultan
Iskandar Tsani (1636-1641), kitab ini memberikan gambaran tentang Aceh dan
kerajaannya pada periode ke-16 dan ke-17 M.
Makalah
ini akan membahas tentang kitab-kitab ketatanegaraan yang digunakan pada zaman
dahulu. Kitab ketatanegaraan ini bersifat Muslim-Persia. Kitab tersebut yaitu
kitab Bustanussalatina dan kitab Tajussalatina. Kedua kitab tersebut merupakan
cerminan bagi raja-raja berupa pembicaraan-pembicaraan bagaimana seharusnya
perilaku raja yang diidam-idamkan, yang ditakjubi oleh keturunan mereka.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1
Apa isi dari kitab Tajussalatina?
1.2.2
Apa isi dari kitab Bustanussalatina?
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1
Memahami isi dan maksud dari kitab
Tajussalatina.
1.3.2
Memahami isi dan maksud kitab Bustanussalatina.
1.4 Manfaat
Kita mampu memahami kitab-kitab
ketatanegaraan sebagai cermin memerintah bagi raja-raja islam.
BAB
II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
2.1 Kitab Bustanussalatina
Kitab
Bustanussalatina ditulis di Aceh pada tahun 1638 oleh Syekh Nurudin ar Raniri.
Kitab ini dikarang pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Tani di Aceh. Kitab
Bustanussalatina ini belum pernah dipelajari secara mendalam kecuali oleh
Vander Tuuk. Vander Tuuk adalah seorang ahli ketimuran bangsa Belanda. Ia
menyambut kitab Bustanussalatina ini dengan pujian. Karena menurut dia, orang
mendapatkan sesuatu yang lebih daripada soal-soal keagamaan, maka karena itu
orang mendapatkan yang lebih daripada yang diharapkan.
Menurut sejarawan proses penulisan
sampai penyelesaian kitab Bustanussalatina ini relatif lama, namun tidak dapat
dipastikan secara pasti tahun berapa kitab itu mulai ditulis, hanya perkiraan
tahun 1640 (1050 H) sudah beredar dan menjadi bacaan para penghuni istana raja
dan ulama-ulama Aceh.
Kitab
Bustanussalatin menjadi salah satu bacaan para kediaman kerajaan Aceh, secara
prikologis kitab tersebut memiliki nilai historis yang bernilai tinggi yang
menjadi rujukan para sejarawan dan penelitian dalam melakukan berbagai kajian
dari dulu hingga kini. Penggunaan bahasa Melayu (beraksara Jawi) sebagai bahasa
resmi baik dibidang politik, dagang, agama, dan budaya, di Aceh sejak abad
ke-15 telah mendorong perkembangan tradisi tulis dan tradisi keilmuan yang
sangat pesat di wilayah ini hingga abad-abad berikutnya, khususnya abad ke-16
dan ke-17 ketika kesultanan Aceh menggapai masa keemasannya.
Berdasarkan rekaman sejarah, kitab
Bustanussalatina menjadi perintis perdana yang mengupas tentang historikal
kerajaan yang bersifat teologis sekaligus historis. Disebut teologis sebab
mengurai keesaan Tuhan dan segala wujud tentang penciptaan alam semesta dan
kelanjutan proses tersebut, sekaligus disebut historis karena merangkup
perjalanan raja-raja Aceh. Kitab Bustanussalatina ini terfokus pada
teologi-historis dimana didalamnya dilukiskan gambaran dinamis tentang
penciptaan alam semesta dan kelanjutan prosesnya, namun tak terlepas dari etik
dan syariat yang diutamakan. Dan dalam naskah Bustanussalatina ini jelas dan
tegas memasukkan sejarah bangsa Melayu ke dalam sejarah dunia yang dipaparkan
sebelumnya, dan khususnya perjalanan sejarah Kerajaan Aceh sebagai Dar as-Salam
(Darussalam). Kitab Bustanussalatina lebih bersifat pengetahuan, baik agama,
sejarah dan nasehat (etika).
Dalam
kitab Bustanussalatina juga digambarkan patriotisme dan peperangan masa
kerajaaan, dapat dikatakan naskah ini merupakan kitab perdana di dunia Melayu
(Nusantara) yang berbentuk gubahan ensiklopedis yang menggabungkan genre
universal historis dengan cermin didaktis. Kitab ini sangat tebal sehingga
tidak tersimpan semua bab dalam satu bundel, dan biasanya naskah-naskahnya
berisi hanya satu atau dua-tiga bab tertentu. Namun, jika mengupas isinya maka
bisa ditemukan antar bab dan pasal saling bersinambungan dan berkaitan,
sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa kitab ini dikarang secara periodik dan
kontinu.
Menilik
isinya, kitab ini berisikan pengetahuan agama, sejarah dan nasehat yang terinci
dalam tujuh pasal, yaitu:
Pasal
1
Pasal
ini berisi sejarah terjadinya dunia, nur Muhammad, asal kejadian malaikat,
iblis atau jin, Sidratul Muntaha, tujuh lapis langit, al qalam, al arasy, bumi,
dan asal kejadian langit menurut kepercayaan orang islam.
Pasal
2
Pasal
ini berisi riwayat nabi-nabi. Mulai dari Nabi Adam sampai kepada Nabi Muhammad,
dari zaman Raja-raja Persia sampai kepada zaman Umar bin Khatab, dari zaman
kaisar Bizantium sampai kepada Nabi Muhammad, dari zaman Raja-raja Mesir sampai
kepada zaman Iskandar Zulkarnain, dari Raja-raja Arab sebelum Islam sampai
kepada zaman Nadjed dan Hidjaz sampai pula kepada zaman Muhammad. Pemerintahan
zaman Nabi sampai kepada pemerintahan Khalifah ar Rasjidin yang empat orang
jumlahnya, sejarah bangsa Arab dibawah pemerintahan Bani Ummaiyah dan
Abbasiyah, sampai kepada riwayat pangeran-pangeran Islam di Delhi dan sejarah raja-raja
Malaka serta Pahang dan sampai pula kepada riwayat raja-raja Aceh.
Pasal
3
Pasal
ketiga berisi cerita tentang raja yang adil, pembesar yang arif dan bijaksana,
dan juga pegawai yang baik dan jujur.
Pasal
4
Pasal
ini berisi tentang raja-raja yang shaleh, orang-orang beriman, orang-orang yang
takwa kepada Allah, dan orang-orang keramat (suci). Selain itu juga
menceritakan Sultan Iskandar Zulkarnain.
Pasal
5
Pasal
ini menceritakan raja-raja yang lalim, pembesar yang bebal, pembesar yang tidak
setia kepada rajanya, dan pegawai yang jahat.
Pasal
6
Pasal
ini berisi tentang orang-orang yang bersifat mulia dan tentang
pahlawan-pahlawan pada perang Uhud dan Badar, serta perang yang lain yang
disertai Nabi Muhammad SAW.
Pasal
7
Pasal ketujuh ini yang juga merupakan
pasal terakhir menerangkan tentang kelebihan akal dan kemuliaan segala macam
ilmu pengetahuan termasuk ilmu filsafat dan ilmu obat-obatan.
Selaras dengan perkembangan dunia pernaskahan, pada
pertengahan abad ke-19 tepatnya pada awal agresi Belanda ke Aceh pada tahun
1873 M, perang paling terpanjang dalam catatan sejarah dan penyerangan
besar-besaran ke Aceh, telah menjadikan perhatian ilmuwan dan rakyat Aceh
terhadap karya-karya ulama spektakuler terabaikan, pada saat yang sama
perhatian rakyat Aceh tertuju kepada perjuangan fisik (perang) mengusir
penjajah dari tanah kelahirannya. Situasi ini dimanfaatkan oleh penjajah untuk
memboyong karya-karya ulama ke luar negeri, walau sebagian kecil peran ulama
menyelamatkan naskah dengan mengkaji dan memperbanyak di dayah-dayah sekaligus
menjadi benteng perjuangan seperti apa yang terjadi di Zawiyah Tanoh Abee, Awe
Geutah dan di dayah-dayah lainnya.
Kini
manuskrip karya ulama-ulama Aceh sangat jarang ditemukan, pada kajian
inventarisir naskah Bustan as-Salatin yang menjadi cikal bakal pengungkapan
sejarah keemasan dan kejayaan kerajaan Aceh sudah tidak ditemukan lagi sumber
asli, kitab fenomenal tersebut menjadi misteri di negerinya sendiri.
2.2 Kitab Tajussalatina
Kitab
Tajussalatina ditulis oleh Buchori dari Johar. Bukhari al-Jauhari adalah
seorang penulis Melayu keturunan Persia yang nenek moyangnya berasal dari Bukhara.
Kitab Tajussalatin selesai ditulis pada tahun 1603, ketika Kesultanan Aceh
diperintah oleh Sultan Sayyidil al-Mukammil (1588-1604). Kitab ini berbahasa
melayu yang bernama Mahkota Segala Raja – Raja. Kitab Tajussalatina mempunyai
nilai-nilai keagamaan dan merupakan pedoman untuk raja-raja yang memerintah
kerajaan pada waktu itu. Kitab ini demikian besar pengaruhnya di Kepulauan
Nusantara, sehingga sampai abad XIX di kalangan kraton-kraton Jawa Tengah dan
Semenanjung Tanah Melayu masih digunakan.
Kitab
ini berisi tentang ajaran moral dan tanggung jawab seorang raja, pejabat
pemerintah, dan masyarakat umum. Kandungan filosofis kitab Tajussalatin banyak
dikenal dilingkungan masyarakat mulai Sumatra dan Jawa. Serat Tajussalatina
karya Yasadipura itu telah dicetak di Semarang tahun 1873 dan 1875, di
Surakarta tahun 1905 dan 1922. Serat Tajussalatina mengandung filosofis yang dapat
digunakan sebagai perekat nasionalisme yang ada dikepulauan nusantara.
Gagasan
dan kisah-kisah yang dikandung dalam Tajussalatina memberikan pengaruh besar
pada pemikiran politik dan tradisi intelektual di dunia Melayu, tidak hanya di
Nusantara, melainkan juga di kawasan Asia Tenggara. Bahasan dalam kitab
tersebut selalu ditopang oleh ayat Alquran dan hadits.
Kitab
Tajussalatina ditulis dalam 24 bab dengan paparan sebagai berikut.
Bab pertama,
merupakan titik tolak pembahasan masalah secara keseluruhan, yaitu pentingnya
pengenalan diri, pengenalan Allah sebagai Pencipta, dan hakikat hidup di dunia,
serta masalah kematian dan diterangkan
bagaimana manusia harus mengenal dirinya, berisi filsafat yang tinggi. Tuhan
menjadikan pancaindra yang lima kepada manusia. Manusia terdiri dari empat
unsur bertentangan : tanah, air, udara, dan api. Sifat yang ada dalam keempat
barang itu berlawanan, tetapi didalam
diri manusia menjadi berkawan (berkumpul). Diri yang harus dikenal oleh setiap
muslim adalah diri manusia sebagai
khalifah Tuhan di Bumi dan sebagai hamba-Nya. Bukhari al-Jauhari mengemukakan
sistem kenegaraan yang ideal dan peranan seorang raja yang adil dan benar.
Orang yang tidak adil, apalagi dia seorang raja, akan menerima hukuman berat di
dunia dan akhirat. Sebaliknya, raja yang baik dan adil, akan menerima pahala
dan tempat di surga, karena ia menjalankan sesuatu berdasarkan hukum Allah dan
Rasul-Nya.
Bukhari
al-Jauhari tidak hanya memberikan makna etis dan moral bagi keadilan,
melainkan juga makna ontologis. Raja yang baik adalah seorang ulil albab yang
menggunakan akal pikiran dengan baik dalam menjalankan segala perbuatan dan
pekerjaannya, khususnya dalam pemerintahan. Ia menjelaskan pula tentang
kriteria ulil albab yang seharunya dimiliki oleh pemimpin.
Jadi
seorang pemimpin yang pertama harus bersikap baik terhadap orang yang berbuat
jahat, lalu menggembirakan hatinya dan memaafkannya apabila orang itu telah
meminta maaf dan bertaubat. Kedua, bersikap rendah hati terhadap orang yang
berkedudukan lebih rendah dan menghormati orang yang bermartabat, pandai, dan
ilmunya lebih tinggi. Ketiga, mengerjakan dengan sungguh-sungguh dan cekatan
pekerjaan yang baik dan perbuatan yang terpuji. Keempat, membenci perbuatan
jahat, fitnah, dan berita yang belum jelas kebenarannya. Kelima, senantiasa
menyebut nama Allah, meminta ampun, dan petunjuk kepada-Nya, serta selalu ingat
akan kematian dan siksa kubur. Keenam, mengatakan sesuatu hanya yang
benar-benar diketahui, serta sesuai dengan tempat dan waktu, yaitu arif dalam
menyampaikan sesuatu.
Karena
itu, menurut Bukhari al-Jauhari, seorang raja atau pemimpin harus memenuhi
syarat sebagai berikut. Pertama, hifz (memiliki ingatan yang kuat). Kedua, fahm
(memiliki pemahaman yang benar terhadap berbagai perkara). Ketiga, fikr (tajam
dan luas wawasan). Keempat, iradat (menghendaki kesejahteraan, kemakmuran, dan
kemajuan untuk seluruh lapisan masyarakat). Kelima, nur (menerangi negeri
dengan cinta atau kasih sayang).
Pasal kedua yaitu diterangkan
bagaimana manusia harus mengenal Tuhannya. Sesudah manusia mengenal dirinya
terlebih dahulu, kemudian baru disuruh mengenal Tuhan. Dalam Islam ada ajaran “bila
orang mengenal dirinya ia akan mengenal Tuhannya pula”.
Pasal ketiga mengajarkan bagaimana
caranya manusia mengenal dunia, mempelajari masyarakat atau pergaulan manusia.
Manusia diumpamakan hidup di dunia ini sebagai perantau atau tamu buat sebentar
waktu saja dan dunia diumapamakan tempat singgah sementara dalam menuju tempat
yang abadi yaitu akhirat.
Pasal keempat berisi bagaimana
pahit getirnya melepaskan nafas yang penghabisan waktu manusia berhadapan
dengan maut. Manusia harus ingat bahwa dia tiada akan terlepas dari bahaya
sakaratulmaut. Tuhan telah memesankan : Kullu
nafsin dzaiqatulmaut yang berarti Tiap-tiap orang pasti akan merasakan
mati. Tak ada kecualinya biarpun ia raja, pembesar , mulia, hina, kaya atau
miskin, akan melalui jalan yang sama waktu datang kedunia dan kembalinya
keakhirat juga melalui jalan yang sama
pula. Pada bahagian yang dimuka kitab tajussalatina wujudnya menginsafkan
manusia untuk mengenali dirinya, darimana
asalnya dan kemana tujuannya, siapa yang menjadikannya dan mengapa ia
dijadikannya, apa kewajiban hidup didunia ini.
Pasal kelima menerangkan bagaimana
kebesaran atau kemuliaan seorang raja, kekuasaan dan kedaulatan kerajaanya. Bukhari al-Jauhari menambahkan
tentang beberapa syarat lagi yang seharusnya dimiliki oleh seorang calon
pemimpin. Pertama, seorang pemimpin harus dewasa dan matang dalam segala hal
sehingga dapat membedakan yang baik dan buruk bagi diri, masyarakat, dan
manusia pada umumnya. Kedua, seorang pemimpin hendaknya memiliki ilmu
pengetahuan yang memadai berkenaan dengan masalah etika, pemerintahan, politik,
dan agama. Ketiga, pembantu raja yang diangkat harus dewasa dan berilmu, serta
menguasai bidang pekerjaannya. Keempat, mempunyai wajah yang baik dan menarik
sehingga orang mencintainya, tidak cacat mental dan fisik. Kelima, dermawan dan
pemurah, tidak kikir, dan bakhil. Keenam, pemimpin yang baik harus senantiasa
ingat pada orang-orang yang berbuat baik dan membantu dia keluar dari kesukaran
serta membalas kebaikan dengan kebaikan. Ketujuh, pemimpin yang baik harus
tegas dan berani, terutama dalam menghadapi orang jahat dan negara lain yang
mengancam kedaulatan negara. Kedelapan, tidak banyak makan dan tidur, tidak
gemar bersenang-senang, dan berfoya-foya. Kesembilan, tidak senang bermain
perempuan. Kesepuluh, seorang pemimpin yang dipilih sebaiknya
dari kalangan lelaki yang memenuhi syarat dalam memimpin negara.
Pada pasal keenam, Bukhari
al-Jauhari membahas keharusan seorang pemimpin berbuat adil dalam segala hal.
Ia mengutip Surat al-Nahl: 90, “Sesungguhnya Allah memerintahkan berbuat adil
dan ihsan.” Menurut Bukhari al-Jauhari, sikap adil ada dalam perbuatan,
perkataan, dan niat yang benar. Adapun ihsan mengandung makna adanya kebaikan
dan kearifan dalam perbuatan, perkataan, dan pekerjaan. Pemimpin yang adil
merupakan rahmat Allah yang diberikan kepada masyarakat yang beriman. Adapun
pemimpin yang zalim sering merupakan hukuman dan laknat yang diturunkan kepada
masyarakat yang berbuat aniaya.
Pasal ketujuh menerangkan bagaimana
akhlak atau pekerti serta tindakan seorang raja. Raja harus bersifat bijaksana,
ia harus selalu menjaga supaya rakyatnya jangan ditekan dan dipras oleh
pembesar-pembesarnya yang jahat
pekertinya. Pada zaman dahulu raja-raja sering membagi waktunya untuk melakukan kewajibannya
terhadap agama, terhadap pemerintahan, untuk makan dan tidur, serta untuk
beristirahat.
Pasal kedelapan menceritakan raja
yang tiada beriman (bukan mukmin) tetapi bersifat adil, diantaranya diceritakan
tentang raja Nusyirwan yang terkenal sangat adil, karena itu dia dinamai
Nusyirwan Adil dengan patihnya yang bijaksana Burzurdjmihr. Raja Nusyirwan
mempunyai tiga bentuk cincin dijarinya :pada tiap-tiap cincin itu dinukilkan nasihat atau peringatan yang
berharga sekali : Pada cincin yang
pertama tertulis : Jangan dilakukan suatu pekerjaan, sebelum meminta nasihat
kepada ahlinya. Pada cincin yang kedua tertulis : Janganlah dilupakan rakyat
dalam hal-ihwalapapun. Pada cincin yang ketiga dinukilkan : Janganlah amarah
terhadap kekhilafan seseorang,biar ia kawan atau musuhmu sekalipun melainkan
berilah ingat dan timbanglah dengan bijaksana.
Pasal kesembilan berisi tentang
kelaliman. Nabi Muhammad tidak akan memberikan syafaat, perlindungan, pertama
kepada raja-raja yang lalim dan kepada orang-orang yang menambah-nambah akan
peraturan yang telah ditentukan.
Pasal kesepuluh berisi bagaimana hubungan raja dengan
penasihatnya.
Pasal kesebelas tentang pekerjaan
seorang penulis (pengarang). Dalam zaman kemajuan pemerintah Islam jasa penulis
sangat dihargai sekali. Ada khalifah yang memberi uang jasa kepada seorang
penulis, berat naskah itu ditimbang dengan emas.
Pasal keduabelas berisi kewajiban
utusan-utusan. Seorang utusan menjalankan sebagian dari pekerjaan seorang nabi.
Sekiranya mereka menghilangkan beberapa kepercayaan maka sesudah diadakan
penyelidikan merekapun tidak luput dari hukuman.
Pasal tigabelas tentang sifat-sifat
pegawai pemerintah.
Pasal empatbelas yang agak penting
yatiu diterangkan bagaimana cara mendidik anak-anak. Pertama seorang anak sudah
lahir kedunia hendaklah dimandikan dengan air yang bersih lalu dipakaikan baju.
Pada telinga yang sebelah kanan hendaklah dijabatkan azan dan pada telinga
bagian kiri diperdengarkan iqomah.kedua pada hari yang ketujuh sesudah
kelahirannya diadakan perhelatan (selamatan) untuk menyukur rambutnya. Ketiga
bila ia berumur 7 tahun tempat tidurnya
hendaklah dipisahkan dan mulai pula dibiasakan mengerjakan sembahyang. Kelima
anak itu telah berumur 13 tahun hendaklah ia dibiasakan turut melakukan upacara
yang berhubungan dengan agama. Keenam bila telah berumur 16 atau 17 tahun untuk
dicarika seorang istri atau suami.
Pasal lima belas menerangkan
tentang pimpinan yang bijaksana, yang
terpenting dalam pasal ini ialah pendidikan ketinggian budi yang menuju kepada
kepuasan batin.
Pasal keenambelas tentang akal dan
atau budi pada diri manusia tak ubahnya seperti cahaya matahari dicakrawala,yng
menerangi dunia kesegenap
penjuru,sehingga tak ada yang tersembunyi dan tak seorangpun tersesat
karenanya.
Pasal tujuh belas tentang
undang-undang dasar suatu negara (kerajaan).
Pada pasal kedelapanbelas mengenai
ilmu firasat dan ilmu gerak (alamat).Untuk mengenali manusia ada empat sebab
(jalan) yaitu kenabian, kesucian, kecerdasan, dan karena ilmu firasat.
Pasal sembilanbelas mengenai
tanda-tanda ilmu firasat.
Pasal duapuluh tentang hubungan
rakyat yang beragama islam dengan raja.
Pasal duapuluh satu tentang rakyat
yang tidak beriman dengan raja.
Pasal duapuluh dua perihal
kedermawanan dan kemurahan hati.
Pasal duapuluh tiga tentang
menepati janji dan perjanjian.Yang sangat terpuji adalah raja yang dapat
memenuhi janjinya.Maka rakyatnyapun akan tetap terikat dan pertjaja kepadanya.
Pasal yang keduapuluh empat berisi
kata penutup.Sesungguhnya buku Tajussalatina itu dipandang sebagai cermin
raja-raja,banyaklah mengandung nasihat dan petunjuk yang berharga bagi raja
dizaman itu.
Bukhari al-Jauhari juga menyebutkan tentang perkara yang
menyebabkan sebuah kerajaan runtuh. Pertama, pemimpin tidak memperoleh
informasi yang benar dan terperinci tentang keadaan negeri dan hanya menerima
pendapat dari satu pihak atau golongan. Kedua, pemimpin melindungi orang jahat.
Ketiga, pegawai raja senang menyampaikan berita bohong, menyebarkan fitnah, dan
membuat intrik-intrik yang membuat timbulnya konflik.
2.3 Persamaan dan perbedaan kitab
Bustanussalatina dengan kitab Tajussalatina
Kitab Bustanussalatina dan Tajussalatina mempunyai kesamaan
manfaat. Kedua kitab ini digunakan sebagai petunjuk atau pedoman memerintah
yang baik bagi raja-raja Islam. Selain itu, kedua kitab ini sama-sama digunakan
di Aceh.
Perbedaan kitab Bustanussalatin dan Tajussalatin dapat
dipahami berdasarkan tabel berikut.
No
|
Aspek Pembeda
|
Bustanussalatina
|
Tajussalatina
|
1.
|
Pengarang
|
Nuruddin ar Raniri
|
Bukhori al Jauhari
|
2.
|
Zaman Pemerintahan
|
Sultan Iskandar Tani
|
Sultan Iskandar Muda
|
3.
|
Tahun Penulisan
|
1638
|
1693
|
4.
|
Isi
|
Pengetahuan agama, nasihat, sejarah
|
Undang-undang, hukum cara memerintah bagi
raja, pegawai dan ilmu firasat dengan tanda-tandanya.
|
5.
|
|
7 pasal
|
24 bab
|
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Berdasarkan pembahasan tersebut dapat dipahami bahwa pada
zaman dahulu peranan ulama dalam masyarakat Aceh begitu besar. Ulama begitu
besar potensinya dalam mengarahkan kehidupan rakyat agar menjadi lebih baik,
baik melalui lisan maupun tulisannya. Karya yang terkenal pada zaman tersebut
adalah kitab Bustanussalatina dan kitab Tajussalatina yang digunakan sebagai
pedoman pemerintahan.
3.2 Saran
Sebagai
bentuk apresiasi pada karya-karya yang berkembang di masyarakat sejak zaman
dahulu, banyak pesan dan ajaran yang
terdapat dalam dua kitab tersebut. Ajaran-ajaran baik sebaiknya kita jadikan
contoh dalam kehidupan sehari-hari.
DAFTAR
PUSTAKA
Rahaju, Sri. 1972. Kesusasteraan Lama Indonesia. Semarang: Widya Duta.
Sufi, Rusdi.
2010. Guru dan Karyanya di Aceh pada Abad
XVII dan XIX. http://agusbw-bpsntaceh.blogspot.com/2009/02/guru-dan-karyanya-di-aceh-pada-abad.html/.
Diunduh pada tanggal 21 November 2013.
Sudirman. 2013. Mahkota Segala Raja. http://aceh.tribunnews.com/2013/06/30/mahkota-segala-raja.html/.
Di unduh pada tanggal 21 November 2013.
Usan, Zuber. 1962. Kesusasteraan Lama Indonesia. Jakarta: Gunung Agung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar