TEOR VIADIMIR PROPP (Struktural Naratologis)
Selain membahas masalah struktur
pembangun berupaunsur intrinsik
dan ekstrinsik, strukturalisme juga membahas struktur naratif cerita. Salah
satu ahli yang menggeluti bidang ini adalah Vladimir Propp. Propp memulai
dengan masalah pengklasifikasian dan pengorganisasian cerita rakyat. Propp
secara induktif mengembangkan empat hukum yang menempatkan sastra rakyat atau
fiksi pada pijakan baru. Karena inilah Vladimir Propp dikenal sebagai cikal
bakal struktural naratologis (Herman & Vervaeck, 2005: 52). Keempat hukum
tersebut sebagai berikut.
1. Fungsi karakter (tokoh) sebagai
sebuah penyeimbang, elemen-elemen tetap dalam sebuah cerita, tidak bergantung
kepada bagaimana atau karena siapa mereka terpenuhi. Elemen-elemen tersebut
membentuk komponen-komponen fundamental sebuah cerita.
2. Jumlah fungsi yang dikenal dalam
cerita peri terbatas.
3. Rangkaian fungsi itu selalu identik.
4. Semua cerita peri terdiri atas satu
tipe jika dilihat dari strukturnya.
Dalam membandingkan semua fungsi cerita-cerita
tersebut, Propp menemukan bahwa jumlah keseluruhan fungsi tidak lebih dari tiga
puluh satu fungsi. Fungsi-fungsi tersebut disusun sebagai berikut.
1. Salah satu anggota keluarga
hilang/pergi dari rumah.
2. Larangan ditujukan pada sang pahlawan.
3. Larangan dilanggar.
4. Penjahat berusaha mengintai.
5. Penjahat menerima informasi tentang
korbannya.
6. Penjahat berusaha menipu korbannya
untuk menguasai korban atau (harta) milik korban.
7. Korban tertipu dan tanpa sadar membantu
musuhnya.
8. Penjahat membahayakan atau melukai
seorang anggota keluarga.
9. Kemalangan atau
kekurangan diketahui.
10. Pencari setuju
atau memutuskan untuk mengatasi halangan.
11. Pahlawan
meninggalkan rumah.
12. Pahlawan diuji,
diinterogasi, diserang, dsb. dalam proses mendapatkan alat (agent) sakti atau
penolong.
13. Pahlawan
mereaksi tindakan donor masa depan.
14. Pahlawan
memperoleh kekuatan alat sakti.
15. Pahlawan
dipindah, dikirim, atau digiring/dituntun kemana-mana dalam pencarian objek.
16. Pahlawan dan penjahat
terlibat perang langsung.
17. Pahlawan
mendapat nama (terkenal)
18. Penjahat
dikalahkan
19. Kemalangan atau
kekurangan awal berhasil dimusnahkan.
20. Pahlawan
kembali.
21. Sang pahlawan
dikejar.
22. Penyelamatan
pahlawan dari kejaran.
23. Pahlawan – yang
tidak dikenali – pulang atau pergi ke negeri lain.
24. Seorang
pahlawan palsu menyatakan tuntutan (claim) yang tidak berdasar.
25. Sebuah tugas
yang sulit diajukan pada sang pahlawan.
26. Tugas berhasil
dipecahkan.
27. Sang pahlawan
dikenali.
28. Pahlawan palsu
atau penjahat terungkap.
29. Pahlawan palsu
diberikan tampilan baru.
30. Penjahat
dihukum.
31. Pahlawan
menikah dan bertakhta.
Propp menyebut
tujuh fungsi pertama sebagai unit persiapan. Komplikasi ditandai dengan nomor
10. Komplikasi diikuti dengan perpindahan, perjuangan, kembali (kepulangan),
dan pengenalan. Sebagai tambahan dari tiga puluh satu fungsi tersebut, Propp
menambah tujuh “putaran aksi” (spheres of action). Ketujuhnya disusun sebagai
berikut.
1. Penjahat.
2. Donor
(penyedia).
3. Penolong.
4. Putri dan
ayahnya.
5. Utusan
(dispatcher)
6. Pahlawan
(pencari atau korban)
7. Pahlawan palsu
Propp lengkapnya Vladimir Jakovlevic Propp, lahir 17 April 1895
di St. Petersburg, Jerman adalah seorang peneliti sastra berkenalan dengan kaum formalis, Propp bukanlah seorang formalis (bdk.
Eagleton, 1988:115; yang pada masa
1920-an banyak berkenalan dengan tokoh-tokoh Formalis Rusia.
Meskipun banyak (Jefferson, 1988:54 ). Dikatakan demikian karena ketika Formalisme Rusia sedang mangalami krisis (menjelang tahun 1930), ia justru memunculkan semacam poetika baru dalam hal pengkajian dan penelitian sastra.
Hal itu dapat dibuktikan melalui buku Morphology of the
Folktale (1975).
Dapat di katakana bahwa buku itu merupakan hasil dekonstruksi Propp terhadap teori-teori yang berkembang sebelumnya. Propp (1975:3--18) berpendapat bahwa para penelitise belumnya banyak melakukan kesalahan dan sering membuat simpulan yang tumpang tindih.
Dapat di katakana bahwa buku itu merupakan hasil dekonstruksi Propp terhadap teori-teori yang berkembang sebelumnya. Propp (1975:3--18) berpendapat bahwa para penelitise belumnya banyak melakukan kesalahan dan sering membuat simpulan yang tumpang tindih.
Selainitu, sedikit banyak teori Propp juga mendekonstruksi teori formalis. Kalau Formalis memenekankan perhatiannya pada penyimpangan
(deviation) melalui unsure naratif fibula dan suzjet dalam karya-karya individual
untuk mencapai nilai kesastraan
(literariness) sastra, Propp lebih menitik beratkan perhatiannya pada motif naratif yang
terpenting, yaitu tindakan atau perbuatan (action),
yang selanjutnya disebut fungsi (function).Propp menyadari bahwa suatu cerita pada dasarnya memiliki konstruksi. Konstruksi itu terdiri atas motif-motif yang
terbagi dalam tiga unsur, yaitu pelaku, perbuatan, dan penderita (lihatjuga:
Junus, 1983:63). Ia melihat bahwa tiga unsure itu dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu unsur yang tetap dan unsur yang berubah.
Unsur yang tetap adalah perbuatan, sedangkan unsur yang berubah adalah pelaku dan penderita. Bagi Propp, yang terpenting adalah unsur yang tetap.
Sebagai contoh,
yang terpenting di dalam konstruksi
"raksasa menculik seorang gadis" adalah perbuatan atau tindakannya, yaitu
"menculik", karena tindakan itu dapa tmembentuk satu fungsi tertentu dalam cerita. Seandainya tindakan itu diganti dengan tindakan lain, fungsinya akan berubah. Tidak demikian jika yang diganti adalah unsure pelaku atau penderita.
Penggantian unsure pelaku dan penderita tidak mempengaruhi fungsi perbuatan dalam suatu konstruksi tertentu. Dilihat dari contoh tersebut, jelas bahwa teori Propp diilhami oleh strukturalisme dalam ilmu bahasa (linguistik)
sebagaimana dikembangkan oleh Saussure.Berdasarkan penelitiannya terhadap seratus dongeng Rusia, yang disebutnya
fairytale, Propp (1975:21--24) akhirnya memperoleh simpulan (1) anasir
yang mantap dan tidak berubah dalam sebuah dongeng bukanlah motif atau pelaku, melainkan fungsi, lepas dari siapa pelaku yang menduduki fungsi itu, (2) jumlah fungsi dalam dongeng terbatas, (3) urutan fungsi dalam dongeng selalu sama, dan (4) dari segi struktur semua dongeng hanya mewakili satu tipe (lihat juga: Teeuw, 1984:291;
Scholes, 1977:63).
Sehubungan dengan simpulan (2), Propp menyatakan bahwa paling banyak sebuah dongeng terdiri atas 31 fungsi. Namun, ia juga menyatakan bahwa setiap dongeng tidak selalu mengandung semua fungsi itu karena banyak dongeng yang ternyata hanya mengandung beberapa fungsi. Fungsi-fungsi itulah, berapa pun
jumlahnya, yang membentuk kerangka pokok cerita. Tiga puluh satu fungsi yang dimaksudkan oleh Propp adalah seperti di bawah ini. Untuk mempermudah pembuatan skema, Propp member tanda atau lambing khusus pada setiap fungsi (barangkali,
kalau kita mengganti lambing itu sesuai dengan keinginan kita, tentu juga tidak ada salahnya.Fungsi-fungsi dan lambang-lambang yang
dicantumkan ini hanya terbatas pada yang pokok saja. Menurut Propp (1975:79--80),
jumlah tiga puluh satu fungsi itu dapat didistribusikan ke dalam lingkaran atau lingkungan tindakan (speres of
action) tertentu. Ada tujuh lingkungan tindakan yang dapat dimasuki oleh fungsi-fungsi yang
tergabung secara logis, yaitu (1)
villain 'lingkungan aksi penjahat', (2) donor,
provider 'lingkungan aksi
donor, pembekal', (3) helper 'lingkungan aksi pembantu', (4) the
princess and her father 'lingkungan aksise orang putri dan ayahnya', (5)
dispatcher 'lingkungan aksi perantara
(pemberangkat)', (6) hero 'lingkungan aksi pahlawan', dan (7)
false hero 'lingkungan aksi pahlawan palsu' (lihat juga: Hawkes, 1978:91;
Scholes, 1977:104; Schleifer, 1987:96).
Melalui tujuh lingkungan tindakan (aksi) itulah frekuensi kemunculan pelaku dapat dideteksi dan cara bagaimana watak pelaku diperkenalkan dapat diketahui.Demikian selintas tentang teori (naratologi)
struktural versi Vladimir Propp. Kendati dalam perkembangan selanjutnya Propp banyak dikecam oleh peneliti lain, di antaranya oleh Guipen dari Belanda (Teeuw,
1984:293), sebagian dari konsep teorinya tetap menjadi pegangan mereka.Harusdiakuibahwaternyataparaahliseperti
Bremond, Greimas, Levi-Strauss, Souriau, Todorov, bahkan juga Roland Barthes,
banyak memanfaatkan konsep yang telah dihasilkan Propp. Namun, dalam perkembangan terakhir, Propp tidak konsekuen pada prinsipnya sendiri. Ia semula menolak adanya pendekatan historik, tetapi kemudian ia kembali ke orientasi historik. Hal itu dapat dibuktikan melalui bukunya Theory and
History of Folklore (1984) yang merupakan kumpulan karangan menjelang akhir hayatnya (1970).
DAFTAR PUSTAKA
Herman, Luc & Bart Vervaeck. 2005. Handbook of
Narrative Analysis. Lincoln & London: University of Nebraska Press
Scholes, Robert. 1973. Structuralism in Literature.
New Haven dan London: Yale University Press
http://suwondotirto.blogspot.com/2008/11/studi-sastra_18.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar